Diperkirakan agama Hindhu dan
Budha berkembang di Indonesia semenjak abad IV-XV, namun menurut catatan yang
hadir di India, khususnya di Babad Ramayana Hindhu Dharma telah hadir di
Nusantara semenjak zamannya Sang Rama, pada saat itu Sumatra dikenal dengan
sebutan Swarna Dwipa, Madura disebut Mathura Dwipa dan Jawa disebut Jambu Dwipa
(identik dengan sebutan India pada waktu tersebut) dan Bali disebut Bali dwipa. Ramayana jelas-jelas
mengarah ke Jawa Barat, Bali dsb. Lokasi-lokasi yang dimaksud masih eksis
sampai saat ini, namun bangunan-bangunan sucinya telah hilang ditelan sang
waktu, atau hancur lebur oleh musuh kaum Hindhu. Namun seterusnya berbagai
bukti adanya kerajaan-kerajaan Hindhu-Budha yang pernah eksis di bumi pertiwi
ini ditandai dengan peninggalan-peninggalan yang berupa candi-candi, berbagai
Prasasti, arca-arca batu, arca perunggu, kuningan, perak, emas, alat-alat
Upacara dsb. Bangunan candi-candi ini pada umumnya tersusun dari batu andesit,
batu putih atau batu bata sesuai dengan zaman-zaman dan kemajuan pada saat itu.
Biasanya candi-candi Hindhu, bagian dalamnya (ruang dalamnya) tidak terlalu
lebar, namun biasanya terdapat arca-arca dewa-dewi, lingga-yoni, dsb.
Istilah atau kata candi berasal dari
bahasa sansekerta candika graha. Candika adalah sebuah sebutan yang mulia bagi
Dewi Durga dalam wujudnya sebagai bunda semesta yang mengatasi atau menguasai
para asuras, bukan sebagai dewi maut atau ratu dedemit, dsb. Sebagai penegak
dharma, beliau mengalahkan berbagai unsur-unsur asuras (baca buku Dewa-dewi dan
berbagai maknanya yang juga terbitan Shanti Griya). Ternyata pemujaan terhadap
Dewi Durga sebagai perwujutan Bunda Pemelihara, Pengayom dan Pelindung umat
manusia telah berkembang dengan sangat pesat, pada zaman-zaman
tersebut.Tantraisme telah maju sejajar dengan yang ada di India.
Kemudian setelah seribu tahun
masuklah pengaruh agama Buddha yang perkembangannya sejajar dengan yang hadir
di India pada saat itu. Perbedaan candi Hindhu dan Buddha adalah sebutan dan
isinya, bangunan fisiknya sering sekali mirip baik dari segi arsitektur, bahan
bangunan dan karya seninya. Bangunan-bangunan suci Hindhu ini disebut candi
karena isinya pasti berhubungan dengan Shiwaisme (Tantrik), dengan aliran
Waisnawa (pemujaan kepada Wishnu), Durga dan Lingga-Yoni (perwujutan Shiwa),
candi-candi Wishnu kaya dengan ornamen-ornamen bercorak Waisnawa. Di sisi lain
candi-candi Buddhis yang muncul belakangan bercorak Buddhis dan penuh dengan
arca-arca Budha disamping Dewi Tara, dsb.
Candi Prambanan merupakan karya
masterpiece yang bercorak Tantra (Siwaisme) yang dikombinasikan dengan aliran
Brahma dan Wisnu. Di candi ini hadir seluruh unsur-unsur Tri murti
(Brahma-Wisnu-Shiwa), juga Durga, Ganeshya, Nandi, Surya, Chandra dan
relief-relief Ramayana yang sangat beraliran Waisnawa di candi utamanya. Tidak
jauh dari candi ini terdapat kompleks Candi Sewu yang beraliran Buddha.
Berdasarkan berbagai temuan
arkeologis di Indonesia, dewa utama yang di puja adalah Shiwa Mahadewa, sering
berwujud Shiwa Mahaguru (Agastya). Namun Jawa Timur penuh dengan candi-candi
Wisnu (Erlangga, dsb.). Lingga-Yoni sendiri dianggap sebagai perpaduan Purusha
dan elemen positif, dan Prakriti (elemen negatif), juga berarti secara duniawi
kemaluan laki-laki (linggam) dan kemaluan wanita (yoni).
Di sisi lain lingam juga berarti Sang
Pencipta dan yoni menyiratkan semesta dan isinya (maya). Di luar semua itu,
lingam juga menyiratkan penyatuan Brahma, Wishnu dan Shiwa. Linggam terdiri
dari tiga bagian, biasanya yang paling dasar berbentuk segi empat lambang dari
Hyang Brahma, kemudian bagian sentral (tengah) berbentuk segi delapan, lambang
Hyang Wishnu, bagian atas berbentuk bulat lonjong, lambang dari Shiwa.
Berbagai candi-candi ini dibangun
berdasarkan kosala-kosali yang terdapat didalam kitab Wastupurushamandala, yang
berarti kira-kira: sesuatu lokasi pencipta alam semesta. Kompleks Candi
Prambanan yang paling pas dengan aturan-aturan ini, misalnya candi induk yang
dikelilingi oleh berbagai candi-candi perwara. Lokasi candi mengarah ke Timur
seperti halnya di India, terletak didekat sebuah sungai yang dianggap suci.
Khususnya di Jawa perpaduan candi-candi Hindhu dan biara-biara Buddhis terkesan
sangat harmonis, khususnya pada masa Kerajaan Mataram Hindhu. Namun
kerajaan-kerajaan yang menggantikan Kerajaan Mataram Hindhu, Khususnya di Jawa
Timur terkesan membangun candi-candi mereka tidak seperti lazimnya yang di Jawa
Tengah. Contohnya: candi-candi di Jawa Tengah bagian Selatan berdenah
konsentris dengan halaman paling dalam sebagai wilayah yang tersuci, namun di
Jawa Timur, denah candi berubah disusun ke belakang kembali, yaitu halaman
paling belakang merupakan wilayah yang tersuci. Arah hadap candi juga tidak
lagi berdasarkan arah Timur-Barat, namun berubah membelakangi gunung, dan ada
yang memiliki 3 tingkatan (Bhur, Bwah dan Swah). Di dalam beberapa hal
masyarakat sudah meyatukan pemujaan Shiwa Buddha. Para ahli sejarah Indonesia
ada yang berpendapat bahwa pada zaman tersebut telah berlaku konsep Dewaraja,
yaitu raja atau ratu yang meninggal dibuatkan tempat pemujaan berupa bangunan
candi dengan perwujudan raja-ratu sebagai Dewi Durga (di Gianyar), lihat Candi
Durga Kutri di Buruan, Gianyar, sebagai perwujudan Mahendradatta
(Gunapriyadharmapatni). Kemudian Erlangga yang diwujudkan sebagai Dewa Wishnu
diatas Garuda di Candi Belahan, Mojokerto namun Garuda Wishnu juga didapat di
daerah Palembang (lihat koleksi Museum Nasional di Jakarta). Kemudian hadir
juga Ken Dedes (Permaisuri Ken Arok, pendiri kerajaan Singosari) yang
diwujudkan sebagai Dewi Prajnaparamitha, juga hadir area Raja Kertanegara dalam
wujud Aksobhya, dsb.
EmoticonEmoticon