Mudah-mudahan tiada
halangan !Permohonan maaf hamba ke hadapan arwah para leluhur yang disemayamkan
dalam wujud Ongkara dan selalu dipuja dengan hati suci. Dengan memuja dan
memuji kebesaran Sanghyang Siwa semoga penulis terhindar dari segala kutukan,
derita, cemar, duka-nestapa, dan halangan lainnya. Mudah-mudahan tujuan hamba
yang suci ini berhasil serta bebas dari dosa-dosa karena menguraikan cerita
leluhur di masa lampau, semoga direstui sehingga mendapat kejayaan,
keselamatan, keabadian, panjang usia, sampai dengan seluruh keluarga turun
temurun.
Baiklah kisah ini saya
mulai :
Majapahit yang dipimpin Raja Putri : Sri Ratu Tribhuwanottunggadewi
Jayawisnuwardhani bersama Patih Agung : Gajah Mada berhasil menguasai Kerajaan
Bali Aga yang di pimpin oleh Raja : Paduka Bathara Sri Asta Asura Ratna Bumi
Banten (dikenal dengan nama : Bedahulu) dengan Patih : Ki Pasung Grigis dan Ki
Kebo Iwa, pada tahun 1343 M atau isaka 1265.
Pimpinan Pemerintahan
sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih
Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. Walaupun Bali sudah
dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh militer Bali Aga
sudah menyerah. Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan
sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki
Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur.
Setelah tujuh tahun
barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu
masih belum mau menerima kehadiran “si-penjajah” sepenuh hati. Melihat keamanan
sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka
pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, Ki Patih Wulung berangkat ke Majapahit untuk
menghadap Sri Ratu. Tujuannya adalah melaporkan situasi di Bali dan memohon
penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa.
Atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang
Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang
sudah ditaklukkan, yaitu : Sri Juru, menjadi Raja di Blambangan, Sri Bhima
Sakti menjadi Raja di Pasuruan, Sri Kepakisan (putri) menjadi Raja di Sumbawa,
dan Sri Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Dalem Ketut kemudian
bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali
Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut
sebagai I Dewa Wawu Rawuh. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke
Samprangan (Samplangan). Ki Patih Wulung menjabat sebagai Mangku Bumi.
Dalem Sri Kresna
Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama : Ni Gusti Ayu Gajah Para,
melahirkan : Dalem Wayan (Dalem Samprangan), Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan),
Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak), dan Dalem Ketut (Dalem
Ketut Ngulesir). Istri yang kedua : Ni Gusti Ayu Kuta Waringin, melahirkan :
Dewa Tegal Besung.
Dalem Sri Kresna
Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh
putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Beliau memerintah secara sah sampai tahun 1383 M atau 1305 isaka, kemudian
beliau digantikan oleh adiknya yaitu : Dalem Ketut Ngulesir, bergelar Dalem Sri
Semara Kepakisan, memerintah sejak tahun 1383 M atau 1305 isaka sampai tahun
1460 M atau 1382 isaka. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel
yang diberi nama baru : Sweca Pura.
Di awal pemerintahan
Dalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373 M atau 1295 isaka) terasa situasi di Puri
Samprangan memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-adik
beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat Raja.
Untuk menghindari
pertengkaran, maka kedua adik Raja yaitu Dalem Di-Madia dan Dalem Ketut,
memilih tinggal di luar istana. Dalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di
Desa Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dalem Tarukan. Dalem
Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari satu Desa ke Desa lain,
menyamar sebagai penjudi ayam aduan; penduduk lalu menjuluki beliau : Dalem
Ketut Ngulesir.
Selain untuk menghindari
pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud menyelidiki dukungan rakyat Bali
(Bali-Aga) terhadap pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan
rakyat. Ide Bethara Dalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai
istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebahagian besar masih belum
mengakui pemerintahan Samprangan.
Sementara itu pergolakan
di Puri Samprangan makin memanas, ditandai dengan pemberian julukan yang tidak
pada tempatnya kepada Raja, di mana Dalem Sri Agra Samprangan diberi julukan
Dalem Ile (Ile=gila), Dalem Tarukan dinyatakan “rangseng” (=gila karena marah),
dan Dalem Ketut dinyatakan sangat suka berjudi, khususnya mengadu ayam.
Julukan tidak pada
tempatnya yang diberikan kepada para Raja itu sangat bertentangan dengan ajaran
agama Hindu yang senantiasa mengajarkan penghormatan tinggi kepada Pemimpin
Pemerintahan. Penghinaan kepada Raja itu jelas fitnah, karena jika benar
adanya, pasti Maha Raja Majapahit dan Maha Patih Gajah Mada tidak akan tinggal
diam. Tindakan pemecatan atau penggantian Raja pasti dilakukan. Selain itu,
jika julukan itu benar, para musuh yaitu rakyat Bedahulu akan mempunyai peluang
yang baik untuk menggulingkan Pemerintahan Samprangan.
Setelah selesai
membangun Puri, Dalem Tarukan menikahi seorang Bidadari dari Gunung Lempuyang.
Karena belum mempunyai putra, beliau mengajak kemenakannya, yaitu cucu Dalem
Wayan, Raja Blambangan, bernama : Kuda Penandang Kajar untuk tinggal
bersama-sama di Puri Tarukan.
Kuda Penandang Kajar
adalah seorang pemuda yang tampan, gagah dan mempunyai kekuatan batin yang
tinggi, khusus untuk meneliti apakah tanah ada kandungan emasnya atau tidak.
Karena itulah Puri Tarukan sangat mewah dan terkesan kaya raya karena dipenuhi
ornamen emas murni. Dalem Tarukan sangat menyayangi kemenakannya.
Pemerintahan Samprangan
di ambang kehancuran, karena tidak adanya dukungan dari para Menteri dan
pembantu Raja. Dalem Wayan merasa perlu memanggil adik beliau yaitu Dalem Ketut
untuk diajak kembali tinggal di Puri Samprangan. Maksudnya agar Dalem Ketut
turut membantu beliau menyelenggarakan pemerintahan.
Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat memimpin dengan baik ?
Perbekel Kaba-Kaba diutus beliau untuk menjemput Dalem Ketut ke Desa Pandak, tetapi Dalem Ketut menolak karena beliau merasa belum mampu memimpin kerajaan di Samprangan. Jika Samprangan telah dipenuhi oleh para menteri dan pembantu Raja yang tidak setia, apakah beliau akan dapat memimpin dengan baik ?
Sementara Dalem Ketut
mencari jalan keluar memecahkan masalah ini, datanglah Kuda Penandang Kajar
sebagai utusan Dalem Tarukan memohon Dalem Ketut pulang untuk memimpin Kerajaan
Samprangan. Dalem Tarukan sendiri tidak berniat menjadi Raja, karena beliau
lebih tertarik kepada profesi kepanditaan. Pesan lain yang disampaikan Kuda
Penandang Kajar adalah, jika Dalem Ketut berkenan, beliau dibolehkan
menggunakan istana Tarukan.
Walaupun penjemputan
kali ini penuh penghormatan dan kemewahan, misalnya dengan kuda tunggangan
istimewa bernama I Gagak dan sebuah keris milik Dalem Tarukan yang bernama I
Pangenteg Rat, Dalem Ketut tetap menolak permintaan kakaknya itu, sekali lagi
dengan alasan belum mampu memimpin atau menjadi Raja.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu. Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda Penandang kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Kecewa karena tugasnya tidak berhasil, Kuda Penandang Kajar kembali ke Tarukan dengan lesu. Di perjalanan beliau disambar burung gagak hingga destarnya jatuh. Sesampainya di gerbang istana Tarukan, dilihatnya puncak gelung kuri terpenggal. Hanya Kuda Penandang kajar yang melihat demikian, sementara para pengiringnya tidak melihat puncak gelung kuri itu terpenggal. Pertanda buruk ini terkesan mendalam di hati Kuda Penandang Kajar, sampai-sampai beliau jatuh sakit. Dalem Tarukan prihatin pada sakit yang diderita kemenakannya ini.
Sementara itu tersiar
berita yang mengagetkan, bahwa para panglima perang Samprangan merencanakan
memerangi Kerajaan Blambangan. Dalem Tarukan tidak setuju dengan rencana itu,
mengingat bahwa Dalem Blambangan yaitu ayah Kuda Penandang Kajar, masih saudara
sepupu beliau. Dalem Tarukan berpendapat bahwa rencana itu mempunyai latar
lain, mungkin saja gerakan merebut kekuasaan, yaitu bila prajurit dikerahkan ke
Blambangan, Dalem Wayan akan mudah digulingkan.
Dalem Tarukan cepat
mengambil inisiatif untuk mengikat tali persaudaraan antara Samprangan dengan
Blambangan yaitu dengan menikahkan Kuda Penandang Kajar dengan putri Dalem
Wayan, bernama I Dewa Ayu Muter. Dengan ikatan tali persaudaraan itu, perang
dapat dicegah. Sakitnya Kuda Penandang Kajar menjadi suatu jalan untuk memohon
restu para Dewata. Jika Dewata mengijinkan pernikahan ini, kesembuhan Kuda
Penandang Kajar menjadi suatu batu ujian. Pertimbangan lain, Dalem Tarukan
melihat bahwa Kuda Penandang Kajar sudah cukup dewasa, dan dari gelagat
sehari-hari nampaknya tertarik kepada I Dewa Ayu Muter.
Terucaplah tegur sapa
Dalem Tarukan kepada Kuda Penandang Kajar : Duhai anakku, segeralah sembuh;
ayah berkeinginan mengawinkan anak dengan I Dewa Ayu Muter.Ternyata permohonan
Dalem Tarukan kepada para Dewata terkabul. Kuda Penandang Kajar segera sembuh
dan sehat seperti semula. Tentu saja Dalem Tarukan sangat bergembira. Kini
beliau merencanakan mewujudkan perkawinan kedua muda-mudi itu.
Untuk meminang tentu
saja tidak mungkin, karena posisi Dalem Wayan sangat lemah. Beliau hampir tidak
dapat memutuskan sesuatu. Semua keputusan diambil oleh para Menteri. Akhirnya
dilaksanakanlah perkawinan secara adat kawin-lari. Awalnya perkawinan itu
berjalan lancar, sampai pada malam hari terjadi hal yang merupakan akhir dari
keberadaan Puri Tarukan. Kedua mempelai yang sedang berbulan madu di peraduan,
tewas berbarengan tertusuk senjata keris. Seorang abdi perempuan pengasuh I
Dewa Ayu Muter di Puri Samprangan melaporkan secara tergesa-gesa kepada Dalem
Wayan bahwa putri beliau satu-satunya yaitu I Dewa Ayu Muter, semalam telah
tewas di Puri Tarukan terbunuh oleh Ki Tanda Langlang. Dalem Wayan tentu saja
sangat terkejut dan segera memanggil para menterinya. Seorang panglima perang
menyampaikan ceritra yang lengkap, serta memperkuat keyakinan Dalem Wayan bahwa
putri beliau bersama-sama Kuda Penandang Kajar benar telah tewas ditikam Ki
Tanda Langlang.
Betapa murkanya Dalem
Wayan setelah mendapat penjelasan para Menterinya itu. Segera disuruhlah
memukul kentongan dengan suara “bulus” sehingga para prajurit segera berkumpul
di halaman istana. Di saat itu Dalem Wayan memerintahkan pasukan Dulang Mangap
yang dipimpin Panglimanya Kiyai Parembu, menyerang menghancurkan Puri Tarukan
serta menangkap Dalem Tarukan hidup atau mati. Dengan bersorak gegap gempita
pasukan itu bergegas menuju Puri Tarukan.
Kini diceritakan Ide
Bethara Dalem Tarukan di Puri Tarukan. Betapa sedih dan terkejutnya beliau
menyaksikan nasib yang tragis menimpa putra kesayangannya bersama menantunya
yang meninggal di kamar pengantin justru pada malam pertama yang seharusnya
berkesan sangat bahagia. Beliau sadar bahwa kejadian ini adalah puncak upaya
yang sangat keji dari orang-orang yang ingin menguasai kerajaan Samprangan.
Beliau ingin menyelesaikan masalah ini melalui pembicaraan dengan kakak beliau,
tetapi nampaknya keadaan sudah tidak memungkinkan lagi karena Dalem Wayan sudah
termakan fitnah. Terdengar pula berita bahwa pasukan Dulang Mangap sedang
menuju Puri Tarukan untuk menangkap beliau dan menghancurkan Puri Tarukan.
Di saat yang berbahaya
itu beliau cepat berpikir dan kemudian dikumpulkanlah semua prajurit Tarukan.
Beliau meminta agar bila pasukan Dulang Mangap datang, prajurit Tarukan
menyerah, tidak melawan, dengan cara membuang senjata dan duduk bersila di
tanah dengan posisi kedua tangan memeluk tengkuk (leher bagian belakang).
Beliau juga meminta agar permaisuri tetap tinggal di istana dan menyerah kepada
Dalem Wayan. Betapa sedih dan pilu hati permaisuri tiada terperikan. Ingin
beliau menyertai Dalem Tarukan pergi ke mana saja, tetapi itu tidak mungkin
karena beliau sedang hamil besar.
Prajurit Tarukan juga
tidak mau menyerah begitu saja. Mereka sangat mencintai Dalem Tarukan dan
meminta diijinkan menghadapi pasukan Dulang Mangap sampai habis-habisan (perang
puputan). Dalem Tarukan tidak mengijinkan. Beliau mengingatkan bahwa masalah
ini adalah masalah pertikaian antar keluarga, yaitu beliau dengan kakak beliau,
Dalem Wayan. Beliau tidak ingin karena pertikaian keluarga ini lalu rakyat yang
menjadi korban sia-sia. Dengan berat hati beliau juga berpesan kepada
permaisuri agar baik-baik menjaga putranya yang masih di kandungan.
Permaisuri tetap
berlutut meratapi keputusan Dalem Tarukan. Dalem Tarukan berusaha menenangkan
permaisuri dengan mengatakan bahwa kejadian ini sudah kehendak Dewata. Kita sebagai
manusia tiada daya menolak kehendak Yang Maha Kuasa. Karena itu pasrahlah;
serahkanlah hidup mati kita kepada-Nya. Setelah itu beliau segera berangkat
seorang diri kearah utara.
Pasukan Dulang Mangap di
bawah Panglimanya Kiyai Parembu dengan teriakan-teriakan histeris bagaikan
serigala haus darah, tiba di Puri Tarukan. Mereka terheran-heran karena melihat
semua pasukan dan rakyat Tarukan menyerah total tanpa perlawanan, bahkan duduk
bersila dengan pandangan menunduk memandang tanah. Suatu aturan perang, seorang
kesatria tidak akan membunuh pasukan yang sudah menyerah apalagi tanpa senjata.
Mereka masuk ke istana,
memeriksa setiap sudut tetapi tidak menjumpai jejak Dalem Tarukan. Mereka hanya
menemukan permaisuri beliau yang bersimpuh berurai air mata. Pasukan Dulang
Mangap lalu menjarah isi Puri Tarukan dan membakar sampai habis Puri Tarukan.
Para tawanan digiring ke Puri Samprangan. Kejadian yang memilukan ini terjadi
pada tahun 1377 M atau 1299 isaka.
Kiyai Parembu menghadap
Dalem Wayan di Puri Samprangan, dan melaporkan bahwa Dalem Tarukan telah
melarikan diri ke arah utara. Segala hasil jarahan Puri Tarukan diserahkan, dan
permaisuri Dalem Tarukan ditawan di Puri Samprangan. Dalem Wayan memerintahkan
Kiyai Parembu untuk meneruskan pengejaran esok harinya. Kiyai Parembu
menyiapkan pasukan bersenjata sebanyak 2000 orang.
Perjalanan Ide Bethara
Dalem Tarukan sejak dari Puri Tarukan, secara berurut adalah sebagai berikut :
TARO
Di desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju desa :
Di desa ini beliau tidak lama, hanya lewat saja, kemudian karena dikejar terus oleh pasukan Dulang Mangap, beliau memutar kembali menuju desa :
TAMPUWAGAN
Di suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.
Di suatu tanah persawahan beliau melihat banyak orang sedang menanam padi. Ada seorang petani yang sedang membuang kotoran di sungai, dan bajunya ditinggalkan di tepi sungai. Baju itu lalu diambil oleh Dalem Tarukan, dikenakan, lalu beliau turut serta dengan para petani menanam padi. Seketika datanglah pasukan Dulang Mangap yang mengagetkan para petani.
Kiyai Parembu bertanya,
apakah para petani melihat Dalem Tarukan di sekitar situ. Para petani serentak
menjawab, tidak melihat siapa-siapa apalagi Dalem Tarukan. Pasukan Dulang
Mangap memeriksa sekali lagi dan meneruskan pengejaran ke utara. Beberapa saat
kemudian si petani yang selesai membuang kotoran itu bangkit dari sungai,
mencari bajunya namun tidak ditemukan.
Dalem Tarukan berdiri
sambil membuka penyamarannya. Seketika para petani terkesima karena baru kali
itu mereka menatap sosok Dalem Tarukan yang tinggi besar, gagah perkasa, dengan
raut wajah yang sangat tampan namun berwibawa. Kulit kehitaman dan rambut
berombak yang panjangnya sebatas bahu menambah kewibawaan beliau. Para petani
sujud menyembah serta mohon maaf karena tidak mengetahui kehadiran beliau di
antara mereka.
Beliau, Dalem Tarukan
menjelaskan secara singkat halangan yang menimpa, serta berpesan : “wahai kamu
sekalian rakyat Tampuwagan, janganlah lagi kamu me-“cokor I Dewa” terhadapku.
Kamu boleh menyapaku dengan “I Ratu, Gusti atau Jero”, karena aku akan tetap
menyamar agar tidak diketahui keberadaanku di sini sehingga bebas dari
pengejaran pasukan kakakku, Dalem Samprangan”.
Walaupun tidak rela,
para petani itu serempak menyembah beliau dan merasa iba dengan nasib malang
yang menimpa junjungan mereka itu. Dari Tampuwagan Dalem Tarukan meneruskan
perjalanan ke desa :
PANTUNAN
Para pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan, segera ke sana. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur.
Para pengejar yang mendapat informasi bahwa Dalem Tarukan ada di Desa Pantunan, segera ke sana. Beberapa saat sebelum kedatangan pasukan Dulang Mangap, Ide Bethara Dalem Tarukan telah diberi tahu oleh para petani di Pantunan. Beliau lalu bersembunyi di bawah pohon Jawa dan semak-semak pohon Jali yang tumbuh subur.
Ada sepasang burung
perkutut hinggap di atas pohon Jawa tepat di atas persembunyian beliau seraya
berkicau amat merdunya. Ada pula seekor burung puyuh berkeliaran dekat kaki
beliau sambil berkicau. Para pengejar sudah berada dekat sekali ke pohon Jawa
dan Jali tempat persembunyian beliau. Hampir saja mereka menguakkan semak-semak
itu, namun tiba-tiba seorang pengejar mencegah. “Mana mungkin ada orang di
situ, lihatlah burung-burung itu bertengger dan berkicau dengan tenang; jika
ada manusia mereka sudah pasti terbang menghindar”
Pengejar yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ide Bethara Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah besar perlindungan Ide Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau.
Di saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa :
Pengejar yang lain membenarkan dan mereka meneruskan perjalanan. Terhindarlah Ide Bethara Dalem Tarukan dari penangkapan. Beliau lalu keluar dari semak-semak. Alangkah besar perlindungan Ide Sanghyang Parama Kawi. Seolah-olah semak-semak dan burung-burung itulah yang diminta oleh-Nya untuk melindungi beliau.
Di saat itulah dengan terharu beliau berterima kasih kepada semak-semak dan burung-burung, sehingga terucaplah janji beliau agar seketurunan beliau tidak membunuh/merusak serta memakan Jawa, Jali, burung perkutut dan burung puyuh. Di malam hari beliau meneruskan perjalanan ke desa :
POH TEGEH
Di desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Di desa Poh Tegeh (kini bernama Desa Suter) bermukimlah seorang kesatria bernama I Gusti Ngurah Poh Tegeh. Kesatria ini mempunyai nama/biseka lain yaitu I Gusti Ngurah Poh Landung, atau Kiyai Poh Tegeh, atau Kiyai Poh Landung, keturunan dari Sri Jayakata, Raja Tumapel (Jawa Timur) setelah wafatnya Sri Jayakatong. Datang ke Bali pada tahun 1350 M atau 1272 isaka mengemban tugas mengawal Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan.
Sudah beberapa hari
beliau mendengar berita bahwa Dalem Tarukan sedang berselisih dengan Dalem
Wayan. Tiba-tiba di keremangan sinar bulan malam itu Kiyai Poh Tegeh terkejut
menerima kedatangan Dalem Tarukan. Sang Kiyai segera menyambut dan bertanya
meminta ketegasan, kenapa Dalem Tarukan datang mendadak, seorang diri tanpa
pengiring.
Dalem Tarukan kemudian
menjelaskan duduk persoalan selengkapnya dari awal hingga akhir. Kiyai
mendengarkan dengan seksama, kemudian timbullah rasa ibanya. Kiyai memohon agar
Dalem Tarukan tidak ke mana-mana lagi. Ia mempunyai suatu tempat yang dinamakan
pedukuhan Bunga. Tempat itu dikitari hutan lebat dan jauh dari jalan yang biasa
dilalui manusia. Dalem Tarukan menyetujui dan keesokan harinya beliau ke sana
diiringi Kiyai Poh Landung.
PEDUKUHAN BUNGA
Di Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh rakyatnya.
Di Pedukuhan Bunga beliau disambut oleh Dukuh Bunga yang juga menyediakan pondoknya untuk ditinggali Dalem Tarukan. Dalem Tarukan sangat terharu atas kesetiaan dan keramahtamahan Kiyai Poh Landung dan Dukuh Bunga beserta keluarga dan seluruh rakyatnya.
Keberadaan beliau di
pedukuhan dirahasiakan sehingga Dalem Tarukan menetap dalam waktu lama dengan
tenang. Di sini beliau memperdalam ilmu kependetaan bersama-sama Dukuh Bunga.
Di suatu hari Dalem Tarukan merasa sedih karena mengenang peristiwa hancurnya
Puri Tarukan. Beliau belum tahu bagaimana nasib permaisuri yang ketika
ditinggalkan sedang hamil tua. Lama beliau termenung. Hal ini diperhatikan oleh
Kiyai Poh Landung.
Kiyai turut prihatin dan
memikirkan bagaimana cara menghibur Dalem Tarukan. Kiyai menemukan jalan dan
merencanakan menghaturkan putrinya yang bernama Ni Gusti Luh Puaji sebagai
istri Dalem Tarukan. Beberapa hari kemudian Kiyai mengusulkan rencananya itu
kepada Dalem Tarukan. Beliau menerima dengan baik usul Kiyai, dengan
pertimbangan perlunya menurunkan “sentana” dan juga menghormati kesetiaan Kiyai
Poh Landung. Pertimbangan yang sama pula disampaikan ketika para pengikut setia
beliau di kemudian hari masing-masing menghaturkan putri mereka sebagai
istri-istri Dalem Tarukan. Secara bertahap berkembanglah keluarga Ide Bethara
Dalem Tarukan sebagai berikut :
Di
pedukuhan Bunga beliau sekeluarga hidup aman, tenteram, dan berbahagia. Di
waktu-waktu senggang beliau menanam berbagai macam kembang, kacang-kacangan, dan
sayur-sayuran. Dengan kelima istri dan ketujuh putra/putrinya beliau hidup
rukun dan damai; bercengkrama, bersenda gurau, bermain-main di hutan dan
mandi-mandi di sungai diselingi gelak tawa riang putri, si bungsu Gusti Luh
Wanagiri.
Ide Sanghyang Parama Kawi yang
maha kuasa, telah mengaruniai beliau putra-putra yang tampan, gagah dengan
ciri-ciri khas wibawa kebangsawanan. Tak kalah dengan si mungil, putri beliau
satu-satunya, tanda-tanda kecantikan yang masih tersembunyi menunggu saat
menyembul di kemudian hari.
Hentikan dulu sejenak cerita di
pedukuhan Bunga. Kini diceritakan keadaan Dalem Wayan di Puri Samprangan. Sudah
sekian lama Kiyai Parembu mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan dan desa-desa
di pegunungan, tiada kabar berita, membuat Dalem Wayan resah. Dalam hati
kecilnya beliau menyesal telah mengeluarkan perintah yang demikian kejam namun
sebagai seorang Raja tidak mungkin beliau menarik kembali perintah itu.
Kini beliau mengharap semoga
adik kandung beliau itu selamat dan untuk bisa selamat selamanya, diperkirakan
Dalem Tarukan telah berhasil menyeberang ke Jawa, jika benar maka jalan yang
terbaik adalah melalui Desa Kubutambahan di bekas kerajaan Dalem Kesari
Marwadewa yaitu di Pura Penyusuan.
Rasa kesepian karena tiada
saudara sekandung, perasaan bersalah yang terus menghantui, serta siasat dari
para Menteri yang tiada hentinya, membuat Dalem Wayan tidak bergairah memimpin
pemerintahan Kerajaan Samprangan. Perasaan bersalah Dalem Wayan makin
menjadi-jadi setelah istri Dalem Tarukan yaitu bidadari dari Lempuyang moksah
ketika putra yang dilahirkannya genap berusia 42 hari. Bayi mungil ini dinamai
I Dewa Bagus Dharma. Berhari-hari Dalem Wayan di peraduan saja, tidak beda
seperti orang yang sedang sakit. Para menteri dan petinggi kerajaan yang ingin
menghadap tidak berhasil menemui beliau, sehingga lama kelamaan roda
pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Keadaan ini mengkhawatirkan
beberapa menteri karena dapat membahayakan kelangsungan berdirinya kerajaan
Samprangan, apalagi kaum pemberontak dari kalangan Bali Aga masih terus
berusaha menggulingkan kerajaan. Seorang menteri bernama Kiyai Kebon Tubuh mengambil
inisiatif berangkat ke desa Pandak (Tabanan) menjemput Dalem Ketut Ngulesir
untuk memohon beliau bersedia menjadi Raja.
Kiyai berhasil menemui Dalem
Ketut di arena sabungan ayam sedang berwajah lesu karena baru saja kalah
bertaruh. Kiyai melaporkan secara singkat keadaan Dalem Wayan di Puri
Samprangan dan peristiwa menyedihkan yang terjadi di Puri Tarukan.
Sejenak Dalem Ketut termenung
membayangkan betapa tragisnya nasib beliau tiga bersaudara. Kiyai melanjutkan
permohonannya agar Dalem Ketut sudi pulang ke Samprangan untuk memimpin
kerajaan Bali Dwipa. Walaupun Dalem Ketut sudah lama meninggalkan Samprangan,
beliau selalu memantau apa yang terjadi di Puri Samprangan. Permintaan Kiyai
Kebon Tubuh itu memang patut dipertimbangkan demi menjaga kelangsungan roda
pemerintahan, namun bagaimana nanti dengan kedudukan Dalem Wayan ?
Pemikiran Dalem Ketut itu
nampaknya terbaca oleh Kiyai Kebon Tubuh. Segera ia menawarkan agar Dalem Ketut
memerintah dari Gelgel, bukan dari Samprangan. Dengan kata lain kerajaan seolah-olah
sudah dipindahkan ke Gelgel. Tawaran ini disetujui Dalem Ketut dan segeralah
beliau berangkat ke Gelgel (tahun 1380 M atau 1302 isaka).
Dalem Ketut Ngulesir membangun
istana di Gelgel di kebun kelapa milik Kiyai Kebon Tubuh. Berita ini didengar
oleh Dalem Wayan namun tidak bereaksi karena beliau sudah kehilangan gairah
hidup. Para menteri dan pembantu Raja di Samprangan banyak yang berpindah ke
Gelgel atas kemauan sendiri karena merasa lebih senang mengabdi kepada Dalem
Ketut. Roda pemerintahan diatur dari Gelgel yang telah berganti nama menjadi
Suwecapura. Para Manca yang tinggal di pedesaan dan pegunungan mendengar berita
ini lalu datang menyatakan dukungan dan kesetiaan kepada Dalem Ketut.
Sementara itu Dalem Wayan makin
parah sakitnya dan akhirnya beliau moksah pada tahun 1383 M atau 1305 isaka.
Setelah Dalem Wayan moksah barulah Dalem Ketut menyelenggarakan upacara
penobatan Raja (biseka Ratu) dengan gelar Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan.
Segera setelah Dalem Ketut resmi menjadi Raja, beliau teringat pada kakak
beliau, Dalem Tarukan. Diutuslah Kiyai Kebon Tubuh ke pedukuhan Bunga untuk
meminta Dalem Tarukan kembali ke Tarukan atau ke Suwecapura.
Permintaan ini ditolak beliau
karena beberapa pertimbangan antara lain : jika kembali ke Tarukan, istana ini
sudah hancur dan akan mengingatkan kenangan pahit yang dialami beberapa tahun
lampau. Istri beliau yang dicintai yaitu bidadari Lempuyang-pun (dijuluki :
Dedari Kuning) telah moksah. Jika ke Suwecapura, walaupun adik beliau Dalem
Ketut mau menerima, belum tentu para menteri dan petinggi kerajaan lain mau
juga menerima dengan baik; sementara itu beliau sudah berbahagia di pedukuhan
Bunga.
Kiyai Kebon Tubuh kembali ke
Suwecapura dan melaporkan penolakan Dalem Tarukan tersebut. Dalem Ketut kecewa
karena maksud baik beliau tidak ditanggapi oleh Dalem Tarukan, namun beliau
dapat memahami pemikiran kakak beliau itu. Dalem Tarukan yang menduga bahwa
para menteri di Suwecapura dan para pengejar dari Samprangan telah mengetahui
tempat persembunyian beliau, lalu memutuskan untuk meninggalkan pedukuhan
Bunga. Berangkatlah rombongan keluarga besar itu diiringi oleh Dukuh Darmaji
dan beberapa rakyatnya menuju desa :
SEKAHAN
Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa :
Hanya semalam beliau ada di desa Sekahan, kemudian meneruskan perjalanan ke desa :
SEKARDADI
Di sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa :
Di sini beliau beserta rombongan bermalam di pondok kerabat Jero Dukuh Darmaji selama tiga malam, kemudian meneruskan perjalanan ke desa :
KINTAMANI
Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa :
Hanya lewat saja, lalu terus menuju desa :
PANARAJON
Di sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa :
Di sini rombongan beliau dihembus angin topan sehingga sebelas pengiring beliau meninggal dunia. Setelah topan reda, rombongan meneruskan perjalanan ke desa :
BALINGKANG
Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa
Merasa aman, di sini beliau tinggal selama tiga bulan; setelah itu rombongan menuju desa
SUKAWANA
Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.
Dalam perjalanan yang melelahkan ini putri beliau yang berusia 4 tahun, Gusti Luh Wanagiri menangis karena lapar. Dalem Tarukan lalu bertanya kepada Dukuh Darmaji apakah membawa makanan. Dukuh menjawab, tidak membawa makanan, hanya beberapa genggam beras. Dalem Tarukan lalu tergesa-gesa memberikan beras itu kepada putrinya, karena tidak sempat lagi memasaknya. Beberapa saat kemudian putrinya sakit perut karena memakan beras mentah dan akhirnya tidak tertolong.
Putri yang dicintainya meninggal dunia. Betapa
sedih beliau dan terucaplah kata-kata beliau : “Ya, Tuhan betapa besar cobaan
yang kami terima, sangat besarlah penyesalan kami karena seolah-olah memberi
jalan kematian putriku. Nah agar hal ini tidak terulang lagi, wahai semua putra
dan semua keturunanku, kelak di kemudian hari janganlah sekali-kali kalian
memakan beras mentah”
Setelah itu Dalem Tarukan lalu meminta Ki
Pasek Sikawan mengubur jenazah putrinya. Karena letak desa Sukawana di sebelah
timur bukit Penulisan, maka agar prabu layon berada di “hulu” dikuburlah
jenazah putrinya dengan kepala di arah barat. Di saat ini terucaplah bisama
beliau agar seketurunan beliau bila meninggal atau di-aben agar kepala berada
di arah barat, sebagai tanda ingat akan peristiwa menyedihkan ini. Dari
Sukawana beliau menuju ke desa :
SIKAWAN
Di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa :
Di desa ini beliau ditemui oleh Ki Pasek Ban dan Ki Pasek Jatituhu. Beliau sempat beristirahat selama tiga bulan, selanjutnya menuju desa :
PENEK
Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa :
Tidak menetap, hanya memintas saja, lalu terus ke desa :
BAN (EBAN)
Juga tidak menetap, terus ke desa :
Juga tidak menetap, terus ke desa :
TEMANGKUNG
Tidak menetap, terus ke desa :
Tidak menetap, terus ke desa :
CARUCUT
Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak. Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau : Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Perjalanan menelusuri pantai; tiba di suatu tempat yang indah beliau berhenti sejenak. Sudah sekian jauh beliau berjalan baru di situlah merasa lega dan firasat beliau mengatakan bahwa tempat ini aman dari kejaran pasukan Dulang Mangap. Beliau lalu membicarakan rencana untuk menetap di situ. Semua pengikut beliau : Dukuh Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Temangkung, dan Ki Pasek Sukawana setuju.
Di situlah beliau membuka
perkebunan kelapa dan tanaman palawija, dibantu oleh ratusan rakyat pegunungan
yang setia kepada Dalem Tarukan. Lama-kelamaan makin banyak rakyat dan pemekel
dari pulau Bali pesisir utara yang berdatangan menghaturkan sembah sujud
kehadapan beliau dan tetap menjunjung beliau sebagai Dalem. Dalem Tarukan lalu
bersabda : “kamu semua rakyat pegunungan dan pesisir, aku menerima penghormatan
dan kesetiaanmu, tetapi janganlah kamu me-“cokor I Dewa” kepadaku, karena kini
aku bukanlah seorang Dalem lagi”
Walaupun demikian, rakyat tetap
saja menghormati beliau dengan hatur : cokor I Dewa” karena tak seorangpun
berani merubah kebiasaan sebutan. Terkenallah beliau sampai ke perbatasan di
arah barat : Desa Tejakula, di arah selatan : Desa Poh Tegeh, di arah Timur
Desa Ban, (arah utara : Laut Bali).
Berkat asung kerta nugraha Ide
Sanghyang Parama Kawi, hasil perkebunan beliau melimpah, sehingga lama kelamaan
keluarga dan pengiring beliau kaya raya dan selalu bersuka ria. Maka tempat itu
dinamakan Sukadana.
SUKADANA
Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana. Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran.
Ide Bethara Dalem Tarukan sekeluarga beserta para pengiringnya menikmati kebahagiaan hidup di Sukadana. Namun di suatu saat beliau terkenang akan putri beliau yaitu Gusti Luh Wanagiri yang meninggal dan dikuburkan di Sukawana. Atas usul para pengikutnya yaitu Ki Pasek Jatituhu, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Darmaji, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Penek, Ki Pasek Temakung, Ki Pasek Sikawan, Dukuh Bunga, Dukuh Jatituhu, dan Dukuh Pantunan, dilaksanakanlah pelebon putri beliau secara megah dan besar-besaran.
Lokasi upacara dipilih di Bukit
Mangun; pada saat pembakaran, prabu layon mengarah ke barat. Pemuput upacara
adalah : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, dan Dukuh Jatituhu. Abu jenazah dipendem
di Bukit Mangun. Selesai upacara pelebon, mereka kembali pulang ke Sukadana.
Beberapa lama kemudian para pengiring beliau menyarankan agar rombongan kembali
ke desa Poh Tegeh, karena desa itu lebih layak dijadikan tempat menetap.
POH TEGEH
Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.
Betapa gembiranya I Gusti Ngurah Poh Tegeh menyambut kedatangan Ide Bethara Dalem Tarukan setelah sekian lama berpisah. Rombongan besar itu dijamu secara meriah. Tiba-tiba timbul keinginan Ide Bethara Dalem Tarukan untuk meneruskan perjalanan ke selatan karena seperti ada firasat bahwa kemungkinan putra beliau yang beribu dedari Lempuyang masih hidup dan kini berada entah di mana.
Hal itu disampaikan kepada
Kiyai Poh Tegeh. Mula-mula Kiyai mencegah rencana beliau itu; namun melihat
beliau sangat bersemangat, Kiyai mendukung serta memohon agar Dalem Tarukan
sangat berhati-hati di perjalanan. Beberapa hari kemudian rombongan beliau berangkat
menuju desa :
SIDAPARNA
Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke :
Di desa ini beliau bertemu dengan beberapa penduduk yang memberikan informasi bahwa Dalem Ketut yang menggantikan Dalem Wayan, memerintah di Gelgel secara bijaksana dan semuanya berjalan sangat baik. Dalem Ketut tidak pernah lagi menanyakan keberadaan Dalem Tarukan. Demikian pula para prajurit Samprangan yang dahulu mengejar Dalem Tarukan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Dalem Tarukan meneruskan perjalanan ke :
GUNUNG PENIDA
Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu. Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah.
Di suatu dataran tinggi Dalem Tarukan berhenti. Tempat itu sangat indah karena diapit oleh dua buah sungai yang sangat jernih airnya. Dikelilingi oleh hutan yang penuh dengan aneka satwa, ada tanah datar yang luas, cocok untuk persawahan. Lama beliau termenung menikmati keindahan pemandangan alami itu. Beliau berpikir, inilah tempat yang sangat sesuai untuk tempat menetap. Jika meneruskan perjalanan, belum juga tentu ke mana arahnya; di samping itu anggota rombongan beliau sudah lelah tinggal berpindah-pindah.
Akhirnya beliau memutuskan
menetap di daerah itu. Di sini beliau membangun pondok-pondok, membuka
sawah-ladang, serta menanam padi, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan berbagai
macam bunga. Tempat itu oleh penduduk dinamakan Pulasari atau Pulasantun.
Kemudian Ide Bethara Dalem
Tarukan menekuni Dharma Kepanditaan yang menjadi keinginan beliau sejak berada
di Tarukan. Keinginan ini seperti mendarah daging karena leluhur beliau di
Majapahit adalah Brahmana, abiseka Danghyang Kepakisan. Kegiatan kepanditaan di
Pulasari berkembang pesat karena didukung oleh para Dukuh sekitarnya, misalnya
Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh Darmaji, dan lain-lain. Di sela-sela waktu
pemujaan, Ide Bethara Dalem Tarukan tetap bekerja di kebun atau di sawah
sebagai selingan dan kesenangan.
Hentikan dulu sejenak, kini
diceritakan keadaan putra Ide Bethara Dalem Tarukan bernama Dewa Bagus Dharma
yang tinggal di Puri Samprangan. Sejak berusia 42 hari beliau ditinggal ibunda,
moksah ke kahyangan. Di saat membutuhkan air susu, datanglah seekor manjangan
putih menyusui beliau dan kemudian menghilang setelah sang bayi tertidur lelap.
Keadaan ini mengherankan seisi Puri, sehingga yakinlah mereka bahwa sang bayi
benar-benar putra seorang bidadari kahyangan. Ada seorang emban (pembantu) yang
sangat setia merawat sang bayi.
Setelah meningkat usia remaja,
Dewa Bagus Dharma bertanya kepada si-emban, siapa ayah dan ibu beliau. Si-emban
dengan berlinang air mata menceritrakan riwayat Ide Bethara Dalem Tarukan.
Sejenak beliau tercenung lalu berucap bahwa ingin menemui ayahanda beliau.
Si-emban dengan berbisik memberitahu : “pergilah I Dewa ke arah pegunungan di
utara; jika bertemu seorang laki-laki tegap, tampan, tinggi, berkulit hitam,
rambut panjang berombak, tanpa baju, berkain hitam dengan saput poleng tanpa
ujung (seperti kain sarung), itulah ayahanda I Dewa”
Tidak menunggu waktu lagi, Dewa
Bagus Dharma segera mengambil keris, lalu berangkat ke arah utara. Tekad beliau
sudah mantap; kerinduan bertahun-tahun, haus kasih sayang, dan “jengah” mendorong
beliau segera ingin bertemu dan tinggal bersama ayahanda baik dalam keadaan
suka maupun duka. Berhari-hari beliau berjalan sambil memperhatikan orang-orang
yang ditemuinya. Tidak satu pun mirip dengan apa yang diceritakan si-emban.
Beliau tidak bertanya kepada siapa pun, karena perjalanan ini dirahasiakan.
Suatu siang yang panas, tibalah
Dewa Bagus Dharma di suatu persawahan yang luas. Hanya ada satu orang di situ
sedang asyik membajak sawah. Beliau duduk dan kaget melihat orang itu sesuai
benar dengan ciri-ciri yang dikatakan si-emban. Hanya saja orang ini petani;
ayahanda yang dicari adalah seorang Raja. Tidak mungkin seorang Raja membajak
sawah. Sedang berpikir-pikir demikian, tiba-tiba sapi si-“petani” panik lalu
lari tunggang langgang. Peralatan bajak yang ditariknya patah tidak karuan
karena sapi-sapi itu mengamuk ingin melepaskan diri.
Si “petani” heran, kenapa
sapinya tiba-tiba menjadi liar tak terkendali. Pasti ada sesuatu sebab yang
membuat sapinya ketakutan, misalnya harimau. Namun tidak ada harimau di sekitar
itu. Yang ada hanya seorang lelaki remaja dengan sorot mata polos memandang
kegaduhan sapi itu. Si-“petani” yang tiada lain Ide Bethara Dalem Tarukan,
menjadi marah karena mengetahui penyebab sapinya liar adalah silaki-laki itu.
Beliau mendekati remaja itu lalu menghardik : “eh, apa kerjamu di sini,
mengganggu saya serta mengacaukan sapi-sapi saya”
Sang remaja yang disapa dengan
keras itu juga marah, sehingga timbul percekcokan. Kemarahan makin menjadi-jadi
akhirnya sama-sama menghunus keris berkelahi dengan sengit, saling pukul,
saling tikam, saling cekik, saling tindih, berjam-jam lamanya tidak ada yang
terluka, sampai kehabisan tenaga, sama-sama duduk bersebelahan. Dalem Tarukan
heran karena remaja ini kebal tubuhnya, ditikam tidak tergores apalagi luka.
Beliau lalu bertanya :”hai anak muda, siapa sebenarnya anda, dari mana, mau ke
mana dan apa kerjamu di tengah hutan ini seorang diri” Dewa Bagus Dharma lalu
menjawab :”saya bernama Dewa Bagus Dharma, dari Puri Samprangan, tiba di hutan ini
hendak mencari ayah saya bernama Ide Dalem Tarukan, yang menurut informasi
tinggal di sekitar daerah ini”
Mendengar itu, Ide Bethara
Dalem Tarukan terkejut bagaikan disambar petir. Dipandangnya wajah pemuda itu;
ya Tuhan, Sanghyang Parama Kawi, wajahnya bagaikan pinang dibelah dua dengan
anakku I Sekar. Beliau tak kuasa membendung air mata haru; dipeluknya pemuda
itu seraya mengusap kepalanya : “anakku Dewa Bagus Dharma, Ide Sanghyang Parama
Kawi maha agung dan maha pemurah, hari ini aku dipertemukan dengan anak
kandungku yang bertahun-tahun aku rindukan; nanak, ini ayahmu yang kamu cari
itu”
Sampai di situ Ide Bethara
Dalem Tarukan tidak lagi berkata-kata; rongga dada beliau sudah penuh sesak
dengan keharuan tiada tara. Tak berbeda dengan Dewa Bagus Dharma, tak kuasa
beliau mengucapkan kata-kata; hanya perkataan :”aji, aji, aji” seraya
mengeratkan pelukannya sambil bersimbah air mata.
Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritrakan riwayat masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita.
Lama kedua insan itu saling melepas kerinduan dan kehangatan ayah-anak sambil menceritrakan riwayat masing-masing. Beberapa saat kemudian datanglah putra-putra Ide Bethara Dalem Tarukan yaitu Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari bermaksud menjemput ayahanda beliau pulang ke pedukuhan. Ide Bethara Dalem Tarukan dengan gembira mempertemukan ketiga saudara kandung buah hatinya itu. Mereka lalu pulang ke pedukuhan Pulasari dengan suka cita.
Gemparlah pedukuhan Pulasari atas kedatangan
penghuni baru yang tampan seperti kembarannya Gusti Gede Sekar, namun usianya
sedikit lebih dewasa. Malam hari pertemuan itu dirayakan dengan meriah, makan,
minum, menari dan menyanyi. Ketujuh bersaudara lelaki, putra-putra Ide Bethara
Dalem Tarukan asyik berbincang sampai larut malam. Akhirnya kantuk membawa
mereka ke alam mimpi yang indah. Dewa Bagus Dharma sudah sejak awal memutuskan
tinggal menetap bersama-sama ayah, para ibu dan saudara-saudaranya di Pulasari.
Kini dilanjutkan dahulu kisah
tentang Kiyai Parembu. Kiyai dengan gigih mentaati perintah Dalem Wayan
mengejar Dalem Tarukan ke hutan-hutan pegunungan sebelah utara. Disertai
putranya bernama Kiyai Wayahan Kutawaringin, pasukan Dulang Mangap menyelusup
menyelidiki dan mencari persembunyian Dalem Tarukan, namun tidak pernah
berhasil. Kadangkala ada yang memberikan informasi lokasi persembunyian beliau,
tetapi ternyata informasinya menyesatkan.
Arah pencarian Kiyai menuju gunung Tulukbiyu,
lalu bertemu dengan Jero Dukuh Sekar. Ketika ditanya, Jero Dukuh berlaku pikun
serta memberi jawaban sekenanya. Dengan perasaan kesal dan putus asa Kiyai
meneruskan pencariannya tanpa arah yang jelas. Tiba di suatu tempat Kiyai duduk
di bawah pohon tua yang rindang. Perasaan Kiyai tidak menentu : kesal, malu,
merasa tak berharga karena tidak dapat menunaikan tugas, walaupun sudah
diupayakan dengan sekuat tenaga.
Pasukan Dulang Mangap terpecah
dua; sebagian besar sudah kembali ke Gelgel karena mendengar Dalem Ketut sudah
bertahta di Gelgel. Kini pasukannya bersisa empat puluh orang. Hanya itulah
yang masih setia mengikuti, namun sudah ada tanda-tanda mereka jemu dan
kepayahan. Kiyai merenung dan timbul pikirannya yang terang. Ditanyaillah
dirinya sendiri, apa sebenarnya manfaat tugas yang diembannya bagi kerajaan.
Bukankah perintah Dalem Wayan hanya sebuah perintah emosional yang menuruti
kemarahan sesaat ? Di samping itu berita yang didengar, seolah-olah Dalem Wayan
sudah digeser kedudukannya oleh Dalem Ketut. Lalu untuk siapa kini ia mengabdi
? Tetapi jika melalaikan tugas bukankah ia sudah banyak berhutang budi kepada
Dalem Wayan ? Kebingungan pikiran Kiyai rupanya diketahui oleh putra dan para
pengikutnya.
Seorang pembantunya
memberanikan diri menyampaikan pendapat sebagai berikut : “ya, paduka Gusti,
hamba mengerti bahwa hati tuan kecewa karena tidak berhasil mencari Dalem
Tarukan. Namun jika tuan berkenan, hamba menghaturkan pendapat bahwa Ida
Sanghyang Widhi Wasa telah melindungi Ide Bethara Dalem Tarukan sehingga beliau
terhindar dari mara bahaya. Hidup dan mati semuanya ada di tangan-Nya; jika
belum diperkenankan, apapun upaya manusia untuk membunuh sesama manusia tidak
akan terlaksana. Oleh karena itu janganlah paduka menyesali diri terlampau
berkepanjangan. Sebaiknya putuskanlah apa yang akan kita lakukan sekarang”
Mendengar ucapan pembantunya
demikian, mantaplah hati Kiyai Parembu; segera ia bangkit berdiri seraya
berkata :”Hai kamu sekalian, memang benar seperti apa yang dikatakan temanmu
ini; tidak ada yang dapat melawan kehendak Ide Sanghyang Widhi, hanya Beliau
yang kuasa mengatur soal hidup atau mati. Perasaan kita saat ini sama, yaitu
rasa malu yang menusuk hati karena tidak dapat menyelesaikan tugas. Karenanya
aku telah memutuskan tidak kembali ke Gelgel. Kita menetap di sini saja membuka
lembaran sejarah baru; siapa yang setuju boleh mengikuti saya; yang tidak
setuju silahkan kembali ke Gelgel” Para pengikutnya serempak menjawab setuju.
Tidak seorangpun berniat kembali ke Gelgel. Dengan riang gembira mereka
bersama-sama membangun pedesaan kecil, membuka sawah ladang dan hidup sebagai
petani. Desa itu dinamakan Bugbug Tegeh.
Adanya desa baru cepat tersiar
ke desa-desa sekitarnya. Kiyai Poh Tegeh lalu mengirim utusan mengundang Kiyai
Parembu. Kiyai Parembu merasa khawatir, karena tahu bahwa Kiyai Poh Tegeh
memihak Dalem Tarukan. Semalam suntuk Kiyai Parembu berunding dengan putranya,
Kiyai Wayahan Kutawaringin apakah akan memenuhi undangan itu atau menolak.
Hingga larut malam belum ada keputusan, sampai keduanya tertidur kelelahan.
Kiyai Wayahan Kutawaringin bermimpi ditemui seorang bidadari yang cantik
jelita, bahkan bercengkrama mesra di sebuah taman yang indah.
Keesokan hari mimpi itu
diceritrakannya kepada sang ayah. “Wah itu pertanda baik, mari kita segera
berangkat ke Poh Tegeh” Menjelang sore mereka berdua tiba di Poh Tegeh,
disambut dengan ramah oleh seorang gadis cantik yang kebetulan melintas di
depan pemedal. Bagaikan dipukul palu godam detak jantung Kiyai Wayahan Waringin
memandang kecantikan gadis itu. Bagaimana mungkin, bidadari yang diimpikan
semalam berwujud persis dia.
Sedang terkesima demikian
tiba-tiba tegur sapa Kiyai Poh Tegeh menyadarkan Kiyai Wayahan Kutawaringin.
“Adinda Kiyai Parembu, betapa bahagianya kakanda hari ini karena dinda bersedia
memenuhi undangan” Kiyai Parembu menjawab : ”ya kakanda, maafkanlah dinda
karena baru kali ini dapat berjumpa; dinda merasa seperti manusia yang tidak
berharga dan tak berguna sehingga kelahiran dinda sia-sia belaka. Dinda tidak
dapat mengemban tugas sebagai seorang kesatria sejati. Seharusnya dinda bunuh
diri saja karena tiada tahan menanggung malu”
Wajah Kiyai Parembu sedih
memelas; cepat Kiyai Poh Tegeh menjawab :” dinda, Kiyai Parembu, tidak seorang
pun akan menyalahkan serta merendahkan dinda, karena Ide Bethara Dalem Tarukan
dilindungi Sanghyang Widhi. Sadarlah dinda, beliau berdua kakak beradik
bertikai karena diadu domba oleh pihak lain. Janganlah dinda turut memihak
dalam pertikaian itu karena tidak direstui Yang Maha Kuasa. Sebagai seorang
kesatria, ingatlah selalu riwayat leluhur kita yaitu Sri Jayakata dan Sri
Jayawaringin ketika dilarikan ke Tumapel setelah gugurnya Sri Jayakatong.
Bukankah leluhur Ide Bethara Sri Kresna Kepakisan yang menyelamatkan leluhur
kita ? Dan kedatangan leluhur kita ke Bali-pun mengiringi Dalem Sri Kresna
Kepakisan.
Jadi kita harus tetap berbakti
kepada sentanan Dalem Sri Kresna Kepakisan, dalam hal ini baik Dalem Wayan
maupun Dalem Tarukan sama-sama kita hormati. Kini keadaan berubah; Dalem Ketut
sudah memimpin kerajaan. Oleh karena itu untuk apa dinda masih terus memburu
Dalem Tarukan ? Keputusan dinda untuk menetap di Bugbug Tegeh kanda hargai
sebagai suatu keputusan yang bijaksana”
Mendengar wejangan Kiyai Poh
Tegeh seperti itu legalah perasaan Kiyai Parembu. Mereka lalu bersantap malam
dan berbincang-bincang dengan gembira sampai larut malam. Tiba waktunya tidur,
Kiyai Parembu bersama putranya disilahkan menempati ruangan yang telah
disediakan. Sekali lagi Kiyai Wayahan Kutawaringin bertemu pandang dengan gadis
yang sore tadi. Goyah rasanya lutut beliau karena tak kuasa menahan dentuman
api asmara yang melesat dari kerlingan si gadis.
Kiyai Poh Tegeh segera
mengenalkan gadis itu kepada Kiyai Wayahan Kutawaringin seraya berkata : “nanak
Winihayu Luh Toya, ini masih saudara sepupumu bernama Kiyai Wayahan
Kutawaringin. Ini ayahnya bernama Kiyai Parembu” Si gadis mengangguk manja
terus menghilang di balik pintu. Malam itu Kiyai Wayahan tidur gelisah sampai
ayam berkokok menjagakannya. Setelah berpamitan berangkatlah kedua si ayah dan
anak itu pulang ke Bugbug Tegeh. Di perjalanan, Kiyai Wayahan tiada
henti-hentinya berbisik di hati : “dinda Winihayu apakah dinda merasakan apa
yang terpendam di hatiku” Hingga beberapa hari setibanya di Bugbug Tegeh, Kiyai
Wayahan terus saja terkenang pada Winihayu. Hal ini diketahui oleh ayahnya.
Singkat cerita lama kelamaan
diketahui bahwa Winihayu sama-sama jatuh cinta juga kepada Kiyai Wayahan. Kedua
orang tua-tua lalu berunding, akhirnya terjadilah pernikahan Kiyai Wayahan
Kutawaringin dengan Winihayu Luh Toya. Dari perkawinan ini lahir dua orang
putra yaitu : Kiyai Panida Waringin, meninggal dunia pada usia muda, dan Kiyai
Tabehan Waringin yang kelak di kemudian hari melanjutkan keturunan warga Arya
Kutawaringin. Pernikahan antara Kiyai Wayahan Kutawaringin dengan Winihayu Luh
Toya menyebabkan Kiyai Wayahan ber-ipar dengan Dalem Tarukan, karena sama-sama
menikahi putri-putri Kiyai Poh Tegeh.
Karena hubungan kekeluargaan
inilah menambah “kemalasan” Kiyai Parembu untuk mengejar Dalem Tarukan.
Patutlah dipuji strategi Kiyai Poh Tegeh yang selalu berupaya menyelamatkan
Dalem Tarukan.
Kembali diceritakan keadaan
beliau, Ide Bethara Dalem Tarukan di desa Pulasari. Tidak ada lagi pasukan yang
mengejar-ngejar beliau, sehingga kehidupan beliau aman tentram. Beliau
meningkatkan ilmu kepanditaan, sampai akhirnya mampu menjadi nabe bagi para
dukuh yang setia mengikuti beliau yaitu : Dukuh Bunga, Dukuh Pantunan, Dukuh
Jatituhu, Dukuh Darmaji, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek Daya, Ki Pasek Jatituhu, Ki
Pasek Pemuteran, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Penek, dan Ki Pasek Sikawan.
Kepada para putranya beliau
memberikan bisama sebagai berikut : “Putra-putraku, dengarkanlah bisama yang
aku berikan kepadamu dan segenap keturunanmu kelak di kemudian hari : Jika kamu
meninggal dunia dan diupacarai ngaben (pelebon), dibenarkan kalian menggunakan
busana sesuai dengan tata-cara sebagai seorang Raja beserta dengan segala
upacaranya, paling kecil menggunakan pemereman berupa padma terawang, atau bade
bertumpang tujuh, menggunakan banusa dengan galar dari bambu kuning, tumpang
salu dari bambu kuning, ma-ulon, ma-jempana, kajang Pulasari, daun pisang
kaikik, bale gumi berundak tujuh, bale silunglung, damar kurung, serta upacara
ngaskara selengkapnya.
Selain itu janganlah menerima
panggilan “cai”, tetapi terimalah panggilan : Jero, Gusti dan Ratu. Bisama ini
aku berikan kepadamu karena kamu adalah keturunanku, keturunan Dalem” Pemberian
bisama itu disaksikan oleh para Dukuh dan para Pasek yang disebutkan di atas.
Mereka menyatakan akan selalu mentaati dan menjaga terlaksananya bisama itu.
Tiada berapa lama setelah memberikan bisama, Ide Bethara Dalem Tarukan sakit
selama tiga bulan lalu meninggal dunia pada hari Kamis Kliwon, wara Ukir,
panglong ping pitu, sasih kedasa, isaka 1321 atau bila dengan kalender Masehi,
pada hari Kamis, bulan April tahun 1399 M. Jika diperkirakan beliau lahir pada
tahun 1352 M (dua tahun setelah ayahanda : Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi
Raja Samprangan) maka Ide Bethara Dalem Tarukan meninggal dunia pada usia 47
tahun.
Upacara pelebon Ide Bethara
Dalem Tarukan dilaksanakan di setra Tampuwagan pada hari Sabtu, Pahing, wuku
Warigadean, panglong ping pitu, sasih Jiyesta, rah tunggal, tenggek kalih,
isaka 1321, atau bila dengan kalender Masehi, pada hari Sabtu, bulan Juni tahun
1399 M. Manggala dan pemuput karya upacara pelebon adalah : Dukuh Bunga, Dukuh
Pantunan, Dukuh Jatituhu, Kiyai Poh Tegeh, Ki Pasek Pemuteran, Ki Pasek Penek,
Ki Pasek Temangkung, Ki Pasek Ban, Ki Pasek Sikawan, Ki Pasek Bunga, Ki Pasek
Jatituhu, dan I Gusti Ngurah Kubakal.
Tata laksana pelebon sebagai
Raja, yaitu : pemereman bade tumpang pitu, petulangan lembu nandaka ireng
ditempatkan dengan kepala di arah Barat, tirta pemuput dari Besakih, sulut
pembakaran memakai keloping nyuh gading, kayu bakar memakai kayu cendana.
Setelah itu abu tulang dihanyutkan di sungai Congkang. Sebulan kemudian
diadakan upacara meligia di mana abu “sekah” dipendem di cungkup sebuah Pura
yang dibangun sebagai Pedarman Ide Bethara Dalem Tarukan. Berhubung sudah
disucikan sebagai Bethara Raja Dewata, maka sejak saat meligia itu beliau amari
aran (berganti gelar) menjadi : Ide Bethara Dalem Tampuwagan Mutering Jagat.
Selama berlangsungnya upacara
pelebon dan meligia, tiada henti-hentinya seluruh rakyat pegunungan mulai dari
perbatasan barat : Bondalem (Buleleng), perbatasan timur : Tianyar
(Karangasem), perbatasan selatan : Pantunan (Bangli) menghaturkan uang kepeng
bolong dan bahan-bahan “lebeng-matah” sebagai tanda bakti, setia, hormat, dan
duka cita karena ditinggalkan junjungan mereka. Aturan berupa makanan langsung
disantap oleh para putra, para Ibu, keluarga, serta semua yang hadir. Karena
terlalu banyak sampai tidak habis dimakan, dibiarkan membusuk sehingga
menimbulkan bau tidak sedap.
Setelah semua rangkaian upacara
selesai, bau busuk dari sisa-sia makanan, beras, uang kepeng bolong dan
lain-lain makin menjadi-jadi, tidak tahan menciumnya. Para putra lalu
memerintahkan rakyatnya membuang ke sungai, sampai air sungai itu berubah
seperti bubur. Uang kepeng bolong yang dihanyutkan menyangkut menutupi sumber
mata air sungai. Rakyat yang tinggal di hilir terheran-heran melihat air sungai
berubah seperti bubur; banyak yang mengambil nasi, tumpeng, beras itu untuk
diberi makan anjing atau babi.
Di sungai lainnya rakyat
menemukan uang kepeng bolong yang sudah bergumpal-gumpal berkarat tidak bisa
digunakan lagi. Ide Bethara di sorga loka melihat dengan sedih kejadian itu.
Turunlah kutukan beliau sebagai berikut : “Wahai para putraku, kalian telah
menyia-nyiakan anugerah dewata; maka kini terimalah kutukanku, mudah-mudahan
kalian seketurunan tidak akan menjadi kaya atau berkecukupan. Bila ada yang
bisa kaya, umurnya pendek lalu kematian menjemput sehingga keturunannya menjadi
miskin kembali” Para putra yang mendengar kutukan itu kebingungan dan menyesali
perbuatannya, namun apa hendak dikata karena itulah kehendak Ide Sanghyang
Widhi Wasa. Dengan perasaan tak menentu para putra kembali ke pedukuhan
Pulasari memulai hidup baru.
Aliran sungai yang berlimpah
bubur dan uang kepeng bolong itu menuju ke Kerajaan Suwecapura. Rakyat gempar
berhari-hari, lalu menamakan kedua sungai itu masing-masing : Tukad Bubuh dan
Tukad Jinah. Berita ini sampai ke istana Dalem Ketut (Dalem Sri Semara Kepakisan).
Tahulah beliau bahwa kakak beliau telah meninggal dunia dan di pelebon di
pegunungan. Sedih hati beliau mengenang nasib Ide Bethara Raja Dewata yang
sebahagian besar hidupnya dihabiskan di pengungsian. Beliau Dalem Ketut ingin
memelihara putra-putra Ide Bethara Raja Dewata yang jelas masih kemenakannya
sendiri.
Keesokan harinya dipanggillah
Kiyai Kebon Tubuh lalu ditugaskan menjemput para kemenakan beliau itu ke
hutan-hutan di pegunungan untuk diajak ke Gelgel. Disertai pengikut 50 orang,
berangkatlah Kiyai Kebon Tubuh menuju utara. Setelah menempuh perjalanan
berhari-hari, sampailah Kiyai di pedukuhan Pulasari. Kiyai berdatang sembah
kepada para putra : “Mohon ampun, paduka para putra Dalem, hamba diutus oleh
Paman paduka, Sri Aji Semara Kepakisan untuk menjemput paduka sekalian diajak
pulang ke istana Suwecapura”
Para putra yang dipimpin oleh
putra tertua : Dewa Bagus Dharma ragu-ragu pada kebenaran maksud baik dari
ucapan sang Kiyai. Bertahun-tahun para putra menghadapi kenyataan bahwa
ayahanda beliau dimusuhi oleh saudara sekandung beserta menteri dan rakyat
kerajaan, kini tiba-tiba ada utusan yang bernada membujuk menjanjikan kebaikan
budi. Bukankah ini suatu perangkap untuk mencelakakan para putra sehingga jika
dapat, agar musnahlah keturunan Ide Bethara Raja Dewata.
Berpikir demikian, Dewa Bagus
Dharma kemudian menolak permintaan sang Kiyai seraya menyatakan bahwa beliau
beserta adik-adik tidak akan meninggalkan pedukuhan Pulasari. Kiyai Kebon Tubuh
tidak berhasil membujuk para putra, lalu kembali ke istana Suwecapura. Betapa
duka hati Dalem Ketut mendengar laporan Kiyai Kebon Tubuh; dimintanya Kiayi
mengulangi kunjungan ke Pulasari membujuk para putra agar mau pulang ke
Suwecapura.
Walaupun sampai tiga kali
utusan ini pulang balik, para putra tetap tidak mau datang ke Suwecapura. Ini
menimbulkan kemarahan Dalem Ketut, sehingga keluarlah perintah beliau untuk
menangkap para kemenakan beliau dibawa paksa pulang ke Suwecapura. Kiyai Kebon
Tubuh lalu mengerahkan prajurit dalam jumlah besar dengan persenjataan lengkap.
Tidak kurang dari 2000 prajurit dibawa serta, namun bukan dari pasukan Dulang
Mangap.
Sementara itu pihak para putra
yang dipimpin oleh Dewa Bagus Dharma telah mengetahui gerakan musuh yang
menjalar bagaikan ular besar dari arah selatan. Kakek beliau, I Gusti Poh Tegeh
bersama kerabatnya yaitu I Gusti Ngurah Kubakal mempersiapkan pertahanan rakyat
di desa Pesaban, Tembuku, dan Timuhun. Perang besar yang tidak seimbang
berkecamuk dengan dahsyat, membawa korban banyak di pihak pasukan I Gusti Poh
Tegeh. Dapat dimaklumi karena pasukan ini bukan prajurit terlatih, hanya
bermodalkan semangat dan kesetiaan yang tinggi kepada ratunya. Mayat-mayat yang
jatuh ke sungai hanyut ke hilir akhirnya sampai ke perbatasan kota Gelgel.
Dalem Ketut mendengar berita
banyaknya korban rakyat biasa dalam peperangan di pegunungan. Beliau lalu
memerintahkan menghentikan peperangan dan menarik pasukan Kiyai Kebon Tubuh
kembali ke Gelgel. Dalem Ketut menulis surat kepada I Gusti Poh Tegeh dibawa
oleh utusan beliau, sekali lagi Kiyai Kebon Tubuh bersama seorang Bendesa.
Surat itu diterima oleh I Gusti Poh Tegeh lalu dibaca di hadapan I Gusti Ngurah
Kubakal, dan I Gusti Ngurah Puajang : “Wahai kamu sekalian para Pasek di
pegunungan, serahkanlah para kemenakanku itu untuk aku asuh di Gelgel,
semata-mata karena belas kasihanku dan kerinduan serta keinginanku untuk
memelihara mereka sebagaimana layaknya para ratu keturunan Dalem; peperangan
hanya akan merugikan kita sendiri karena banyak rakyat yang menjadi korban”
I Gusti Poh Tegeh berkata bahwa
beliau masih akan membicarakan hal ini kepada para putra, dan sementara agar
Kiyai Kebon Tubuh pulang lebih dahulu ke Gelgel; mungkin beberapa hari lagi
beliau akan menyusul mengantarkan para putra ke Gelgel. Gusti Poh Tegeh ingin
memenuhi perintah Dalem Ketut karena berpendapat bahwa maksud Dalem Ketut
sungguh-sungguh baik, namun perlu beberapa hari untuk meyakinkan pendapatnya
kepada para putra, terutama Dewa Bagus Dharma sebagai putra tertua.
Sepulangnya Kiyai Kebon Tubuh,
Gusti Poh Tegeh memanggil para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan (d.h. Ide
Bethara Dalem Tarukan) seraya menyampaikan isi surat Dalem Ketut. Para putra
belum sanggup memberi persetujuan hari itu karena masih merasa khawatir akan
masa depan mereka di Gelgel sementara mereka sudah betah dan berbahagia tinggal
di pegunungan. Gusti Poh Tegeh mempersilahkan para putra untuk berpikir
beberapa hari agar mendapat pertimbangan yang matang sebelum mengambil
keputusan.
Namun tiba-tiba tanpa diduga
sama sekali datanglah gelombang serangan yang dahsyat dari para Manca Badung
dipimpin oleh I Gusti Gede Kaler disertai Arya Kenceng, Ngurah Mambal, Ngurah
Menguwi, dan I Gusti Ngurah Telabah. Gerakan ini sangat mengejutkan dan
mengherankan para tokoh pegunungan seperti Gusti Poh Tegeh serta para
kerabatnya. Beliau cepat berpikir bahwa gerakan ini bukan perintah Dalem Ketut,
melainkan gerakan para arya yang merasa khawatir bila para putra Dalem
Tampuwagan kembali ke Gelgel pasti akan diberi kedudukan sebagai Manca yang
akan berakibat kedudukan mereka tergeser.
Jadi tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.
Jadi tujuan serangan kali ini adalah membunuh para putra. Naluri jiwa kesatria Gusti Poh Tegeh bangkit lalu bersama para kerabatnya memimpin perang mempertahankan dan melindungi para putra. Perang berkecamuk seru berhari-hari, namun segera terlihat kekuatan yang tidak seimbang. Pasukan bertahan yang dipimpin I Gusti Agung Bekung bersama Dewa Bagus Dharma dipukul mundur meninggalkan mayat prajurit sekitar 5000 orang.
Pada suatu pagi hari di saat
hujan rintik-rintik dan matahari baru bersinar terang-terang tanah gugurlah
Dewa Bagus Dharma, putra tercinta Ide Bethara Dalem Tampuwagan. Para Kakek,
adik-adik beliau serta seluruh rakyat pegunungan berduka cita sedalam-dalamnya.
Beliau sebenarnya mempunyai ilmu kekebalan tubuh pembawaan sejak lahir, namun
di saat fajar kekebalan itu sirna sementara; rupanya kelemahan ini diketahui
musuh. Beliau direbut berpuluh-puluh prajurit I Gusti Gede Kaler di saat fajar.
Tempat gugurnya diberi nama Siang Kangin. Di situ pula layon beliau diupacarakan
dan distanakan pada pelinggih yang dibangun, selanjutnya dinamakan Pura Siang
Kangin.
Sejak gugurnya Ide Bethara
Siang Kangin, rakyat pegunungan menderita kekalahan terus-menerus dalam
peperangan. Untuk mencegah korban yang lebih banyak maka para pemimpin rakyat
pegunungan berunding lalu mengambil keputusan untuk menyelamatkan para putra
Ide Bethara Dalem Tampuwagan.
Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut : Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Cara menyelamatkan para putra disepakati sebagai berikut : Gusti Gede Sekar dan Gusti Gede Pulasari diiringi ibunda beliau Gusti Luh Puwaji beserta empat orang saudaranya ke Puri Gelgel meminta perlindungan Dalem Ketut. Gusti Gede Bandem pergi ke Desa Keling (Karangasem). Gusti Gede Belayu berangkat kearah Tabanan, menetap di suatu tempat yang kini bernama Desa Belayu. Gusti Gede Balangan menetap di Desa Pantunan atas jaminan keselamatan dari Gusti Agung Pasek Gelgel. Gusti Gede Dangin atas permintaan beliau, tidak mau turut ke Gelgel, lalu berangkat menuju daerah Den Bukit (Buleleng) diiringi rakyat 12 orang, menuju Desa Sudaji. Demikianlah keenam bersaudara itu berpisah menuju tempatnya masing-masing. Sedih dan pilu hati mereka karena harus berpisah dan meninggalkan kampung halaman, namun pasrah menyerahkan nasibnya kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa.
Setibanya Gusti Gede Sekar dan
Gusti Gede Pulasari di Puri Gelgel, langsung menghadap Dalem Ketut Sri Semara
Kepakisan. Betapa gembiranya Dalem Ketut menerima kemenakan-kemenakan beliau,
namun terasa agak kecewa karena tidak semua kemenakannya mau hadir. Tetapi
akhirnya beliau maklum setelah mendapat penjelasan dari Gusti Agung Pasek
Gelgel bahwa keputusan untuk menuju tempat masing-masing sudah dipertimbangkan
dengan baik. Dalem Ketut kemudian memberikan penugrahan kepada para
kemenakannya sebagai berikut :
“Kemenakanku semua, janganlah
kalian menyamai (memadai) kedudukanku, karena kalian keturunan Kesatria yang
telah diturunkan wangsanya dan kini menjadi Wesia Dalem. Sebab-sebab diturunkan
wangsamu karena peristiwa di Puri Tarukan yang melibatkan kakakku Ide Bethara
Dalem Tampuwagan. Di kemudian hari bila kalian dan keturunanmu melaksanakan
upacara pelebon dibolehkan menggunakan tata-cara seorang Raja karena kalian
masih menjadi satu keturunan denganku. Cuntaka hanya tiga malam sebagaimana
halnya wangsa Brahmana, Kesatria (para Ratu). Setelah cuntaka habis segeralah
mebersih di mata air selanjutnya ngayab banten pebersihan; setelah itu barulah
kembali kesucianmu. Jika kalian berani menyamai kedudukanku, akan kukutuk
kalian tiga kali. Hal lain yang harus kalian ingat, janganlah melupakan
Pura-pura kahyangan jagat di seluruh Bali, serta janganlah mensia-siakan para
Pendeta/Sulinggih dan orang-orang suci agar jagat Bali selalu trepti. Janganlah
kalian melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan karena perbuatan itu
akan membawa kehancuran sehingga orang-orang Bali tidak lagi bersatu.
Peringatan-peringatanku ini berlaku seterusnya sampai ke anak cucu keturunanmu
selanjutnya. Bila ada yang melanggar mudah-mudahan menemui bencana dalam
hidupnya”
Setelah berlalu beberapa masa,
datanglah seorang keturunan Ide Bethara Hyang Genijaya dari Majapahit bernama
Sangkul Putih bersama istri dan para putranya. Beliau mendarat di Padang lalu
langsung ke Puri Gelgel menghadap Dalem Ketut. Bertepatan saat itu Ide Dalem
Ketut sedang memberikan penugrahan kepada para putra Ide Bethara Dalem
Tampuwagan yang kali ini hadir secara lengkap yaitu : Gusti Gede Sekar, Gusti
Gede Pulasari, Gusti Gede Bandem, Gusti Gede Belayu, Gusti Gede Balangan, dan
Gusti Gede Dangin, sehingga Sangkul Putih turut mendengarkan wejangan beliau sebagai
berikut: “Wahai para kemenakanku semua, kini lanjutkan penugrahan yang telah
kuberikan beberapa waktu yang lalu sebagai berikut : Jika kalian memahami
tentang kemoksan seharusnya kalian menjadi seorang Sulinggih karena kalian
adalah seketurunan denganku yaitu keturunan Brahmana.
Oleh karena itu pula kalian
harus selalu berbakti di Kahyangan Brahmana di Tolangkir (Besakih) jangan
melewatkan upacara-upacara di sana sekalipun. Jika kalian melupakan, kukutuk
kalian menjadi orang Sudra dan kalian tidak lagi menjadi seketurunan denganku.
Demikian juga kalian harus berbakti di Kahyangan Ide Bethara Hyang Genijaya
yang ada di Lempuyang dan di Tolangkir sesuai sabda Ide Bethara Brahma. Jika
kalian melalaikan peringatanku ini mudah-mudahan hidupmu susah senantiasa
kekurangan, kesasar tidak menemukan arah hidup. Kalian adalah keturunan
Brahmana, maka bila meninggal dunia, layon harus dibungkus oleh daun muda
pisang gedang Kaikik sebab ketika leluhur kita lahir beliau dialasi oleh daun
muda pisang gedang Kaikik. Jika tidak demikian kalian dan keturunan kalian
bukan warih Dalem.
Selanjutnya beliau Dalem Ketut
bersabda : “Apa yang aku anugrahkan kepadamu tadi dan selanjutnya ini adalah
wahyu dari Ide Bethara Hyang Genijaya yang berstana di Lempuyang. Kalian para
kemenakanku, janganlah lupa memuja dan memohon anugrah kepada Ide Bethara di
Penataran Agung, Tolangkir, juga kepada I Ratu Pande, I Ratu Gede Penyarikan,
serta nuntun para arwah leluhurmu untuk distanakan di tempat keturunanmu.
Taatlah melaksanakan kedharmaan, jangan menentang peraturan-peraturan. Diantara
keturunan-keturunanmu janganlah satu sama lain tiada mengakui bersaudara,
paling tidak mengaku memisan atau memindon. Di mana pun kamu berada tetaplah
mengaku bersaudara; jika lupa atau tidak mengakui saudara, mudah-mudahan kamu
kehilangan “soda” yaitu selalu kekurangan makanan dan minuman.
Beberapa waktu kemudian, Ide
Dalem Ketut kembali mengumpulkan para kemenakan beliau (putra-putra Ide Bethara
Dalem Tampuwagan) lalu meneruskan penugrahan yang diterima dari para
putra-putri Sanghyang Pasupati yaitu Ide Bethara Mahadewa yang berstana di
Tolangkir dan adik beliau Ide Bethari Dewi Danu yang berstana di Danau Batur
sebagai berikut : Apabila diantara kalian atau keturunanmu di kemudian hari ada
yang mampu Madwijati, diperkenankan pada upacara pelebon menggunakan padma
trawang, pisang gedang kaikik, gamet (kapas), kesumba, serta bertingkat 5
(nista), 7 dan 9 (madia), dan 11 (utama).
Itu adalah demi
kesejahteraanmu. Jika mayat kalian dibakar, cuntake hanya 3 (tiga) malam; jika
ditanam 7 (tujuh) malam; Jika mayat kalian dibakar, harus dilakukan upacara
ngeleb awu ke segara/sungai disertai upacara ngirim; jika dilalaikan,
mudah-mudahan kamu menjadi manusia yang derajatnya paling rendah karena tidak
membela kewangsaan serta tidak mengenal kawitan.
Selanjutnya Dalem Ketut
bersabda : “Kalian kemenakanku, walaupun kalian telah disurud wangsakan, namun
kalian masih aku anugerahi hak-hak sebagai berikut : seketurunan kalian tidak
kena kewajiban-kewajiban/pungutan (pajak), tidak kena pejah pajungan (hukuman
mati), tidak kena cecangkriman (pembuangan), tidak kena ambungan (hukuman
cambuk), tidak kena sasarandana (pungutan adat), tidak kena pepanjingan
(larangan masuk ke suatu wilayah), tidak kena pecatuan (yuran di Pura), tidak
kena perintah. Para penguasa di daerah yaitu Manca dan Punggawa diberitahu
semua penugrahan Ide Bethara Dalem Ketut tersebut untuk ditaati dan diindahkan,
ditambah lagi penekanan agar mereka senantiasa menghormati para kemenakan
beliau seketurunan. Apabila ada yang berani menentang atau tidak melaksanakan,
mudah-mudahan hilang kesaktiannya dan luntur kewibawaannya.
Beberapa waktu kemudian Ide
Dalem Ketut memberikan tambahan wejangan setelah mendapat wahyu dari Ide
Bethara Brahma : “Jika kalian dan keturunanmu meninggal, kalian harus memohon
melalui Sangkulputih tirta Yeh-Tunggang dari Gunung Agung sebagai tirta
pengentas. Oleh karena itu kawitan serta semua arwah leluhurmu berstana di
Gunung Agung (Tolangkir) sehingga kamu wajib berbakti kepada kawitan dan arwah
leluhurmu di Pedarmaan Besakih.
Bila ada keturunanmu yang sudah
mebersih wenang naik-turun di pelinggih-pelinggih di Tolangkir dalam upacara
yadnya. Bila ada keturunanmu yang mampu Madwijati/Madiksa, wenang mengajarkan
ilmu, sastra dan kedharmaan kepada saudara-saudaranya sehingga menjadi
orang-orang yang terhormat serta diikuti petunjuk-petunjuknya oleh orang lain.
Jika semuanya kalian taati dan laksanakan dengan kokoh dan tekun, mudah-mudahan
kalian dapat mencapai moksah.
Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan “Mantri sesana” yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem di beri kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi : Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi : Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji.
Selain memberikan penugrahan di bidang agama dan kedharmaan, Ide Dalem Ketut juga memberikan “Mantri sesana” yaitu tata susila sebagai pejabat yang bertugas dan berkedudukan sebagai berikut : I Gusti Gede Sekar sebagai Manca di Nongan diberikan tanah kebun 15 sikut disertai Ibunda beliau Ni Gusti Luh Puaji. I Gusti Gede Pulasari kembali ke Pulasari sebagai Dukuh menguasai pedukuhan Pulasari (Bunga), Tampuwagan, Peninjoan, Karang-suwung, dan Manikaji. I Gusti Gede Bandem di beri kedudukan sebagai Manca di Nagasari, meliputi : Tihingan, Kayuputih, Uma-anyar, dan Bangkang. I Gusti Gede Belayu diangkat sebagai Manca di Ogang, meliputi : Semseman, Mijil, Sanggem, Sangkan Gunung, Pakel dan Sangkungan. I Gusti Gede Balangan tetap tinggal di istana Gelgel. I Gusti Gede Dangin kembali ke Sudaji.
Kecuali I Gusti Gede Dangin,
semua putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan diberikan pamancanggah yang memuat
penugrahan tersebut di atas ditambah dengan gambar rerajahan rurub kajang dan
rerajahan daun pisang Kaikik selengkapnya. Pamancanggah itu disahkan dan
diumumkan oleh Ide Dalem Ketut pada Hari Kamis, Umanis, wuku Ukir, panglong
ping 13 (telulas) sasih Kapat, Isaka 1339 (1417 M). Pamancanggah itu
diupacarai/dipasupati sebagaimana mestinya. Sesampainya di tempat kedudukan
masing-masing, para putra Ide Bethara Dalem Tampuwagan menempatkannya di
pelinggih pemerajan dan dipuja oleh seketurunan beliau-beliau. Bila ada yang
mengabaikan kewajiban memuja dan mentaati pamancanggah itu mudah-mudahan
dikutuk oleh Ide Bethara Kawitan.
Silsilah Ide Bethara Dalem
Tarukan.
Sanghyang Pasupati berputra :
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
1. Bhatara Hyang Gnijaya
2. Bhatara Hyang Putranjaya
3. Bhatari Dewi Danuh
4. Bhatara Hyang Tugu
5. Bhatara Hyang Manikgalang
6. Bhatara Hyang Manikgumawang
7. Bhatara Hyang Tumuwuh
Bhatara Hyang Gnijaya berputra
Mpu Withadharma (Sri Mahadewa)
Mpu Withadharma berputra :
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
1. Mpu Bhajrasattwa (Mpu Wiradharma)
2. Mpu Dwijendra (Mpu Rajakretha)
Mpu Bhajrasattwa berputra : Mpu
Tanuhun (Mpu Lampita)
Mpu Tanuhun berputra :
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Sumeru (Mpu Mahameru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha)
5. Mpu Bharadah (Mpu Pradah)
Mpu Bharadah berputra :
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
1. Mpu Siwagandu
2. Ni Dyah Widawati
3. Mpu Bahula
Mpu Bahula berputra :
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
1. Mpu Tantular (Mpu Wiranatha)
2. Ni Dewi Dwararika
3. Ni Dewi Adnyani
4. Ni Dewi Amerthajiwa
5. Ni Dewi Amerthamanggali
Mpu Tantular berputra :
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
1. Danghyang Kepakisan
2. Danghyang Smaranatha
3. Danghyang Sidhimantra
4. Danghyang Panawasikan
Danghyang Kepakisan berputra :
Sri Soma Kepakisan
Sri Soma Kepakisan berputra :
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
1. Sri Juru (Dalem Blambangan)
2. Sri Bhima Sakti (Dalem Pasuruan)
3. Sri Kepakisan (Dalem Sumbawa)
4. Sri Kresna Kepakisan (Dalem Bali)
Sri Kresna Kepakisan berputra :
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
1. Dalem Samprangan
2. Dalem Tarukan
3. Dewa Ayu Wana
4. Dalem Sri Smara Kepakisan
5. Dewa Tegal Besung
Mpu Tanuhun (Mpu Lampita)
berputra lima, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu
Bharadah. Kelimanya disebut Panca Tirta. Mpu Gnijaya menurunkan Sapta Rsi yaitu
: Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu
Preteka, dan Mpu Dangka.
Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Beliau bertujuh selanjutnya, lama-kelamaan menurunkan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Saudara bungsu Mpu Gnijaya yaitu Mpu Bharadah lama-kelamaan menurunkan Para Gotra Sentana Dalem Tarukan atau dikenal sebagai warga Pulasari.
Adanya tali kekeluargaan
seperti itulah yang disadari oleh warga Pasek di pegunungan di saat
beliau-beliau membantu dan menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan di
pengungsian sebagaimana telah diuraikan di muka. Patutlah warga Pulasari
berhutang budi kepada warga Pasek. Kesadaran ini pula yang mungkin mendasari
ide pembangunan Pura Pusat Pulasari berdampingan dengan Pura Pasek.
Di Gelgel, semasa pemerintahan
Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang
disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide
Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu
Saguna (Maha Smaya Warga Pande). Lama-kelamaan, disungsung pula oleh seluruh
rakyat Bali, mengingat di Pura Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di
Bali.
“Kepakisan” asal katanya
“Pakis” berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi
sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada
Kesatria adalah : Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha,
berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar “Paku”
di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura : Paku Buwono I pada
tahun 1706 M.
Di Bali gelar “Pasek” yang
berasal dari perkataan “Pacek”(= paku) pertama kali digunakan oleh Arya
Kepasekan, yaitu putra Mpu Ketek yang termasuk kelompok Sapta Rsi. Ada juga
warga Pasek yang di luar kelompok Sapta Rsi, yaitu keturunan dari Mpu Sumeru yang
berputra Mpu Kamareka, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem, Pasek
Celagi, Pasek Tarunyan, dan Pasek Kayuan. Beliau-beliau juga sangat besar
jasanya menyelamatkan Ide Bethara Dalem Tarukan.
Kesimpulannya bahwa gelar :
Kepakisan, Paku, Pasek bermakna dan berderajat sama yaitu sebagai fungsi
kekuasaan atau pemimpin di suatu wilayah tertentu atau pemimpin suatu
penugasan/jabatan tertentu yang didelegasikan oleh Dalem ( Kaisar = Maha Raja,
atau Raja)
EmoticonEmoticon