Pura Sentana Kawitan Pasek Gelgel

Pura Dasar Buana Gelgel Berkonsep Kaula Gusti Menunggal, Penghormatan pada Empu Ghana.
Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel, Klungkung merupakan salah satu peninggalan sejarah Klungkung yang dikenal sebagai pusat kerajaan di Bali. Selain sebagai satu-satunya pura dasar yang ada di Bali, pura ini juga memiliki keunikan dan fungsi khusus. Seperti apa keunikan dan fungsi dari keberadaan pura ini? Pura Dasar Bhuana terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Dari Denpasar, berjarak sekitar 42 kilometer. Pura ini berdiri di atas lahan yang cukup luas. Berdiri megah dan tampak asri di pinggir jalan utama Gelgel-Jumpai. Sebagimana umumnya Pura-pura di Bali, Pura Dasar Bhuana memiliki tiga mandala -- Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. Di bagian Nista Mandala terlihat keangkeran pohon beringin besar yang tumbuh sejak berabad-abad lamanya.


Masuk ke Madya Mandala, pamedek bisa melihat bangunan-bangunan berupa Pelinggih Bale Agung. Pelinggih ini tampak unik karena panjangnya mencapai 12 meter. Bersebelahan dengan Bale Pesanekan dan pelinggih tempat berstanakan seluruh petapakan dan pratima Pura-pura yang ada di Desa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakan itu tedun dan distanakan saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba) yang dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat.

Sementara di Utama Mandala terdapat belasan pelinggih di antaranya Meru Tumpang Solas, Meru Tumpang Telu, Padma Tiga dan banyak lagi pelinggih lainnya. Dalam setahun, ada dua wali/ karya digelar yakni wali bertepatan dengan Pamacekan Agung, serta wali/ karya Padudusan yang jatuh pada Purnama Kapat.

Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189 atau tahun 1267 Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan dibangun untuk menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan dikelompokkan berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat pemujaan di masa kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan Jagat. Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari ajaran Rsi Rena dalam agama Hindu.

Pura atau Ashram yang dibangun pada tempat di mana Maharsi melakukan yoga semadi adalah sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di Karangasem. Silayukti diyakini sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan Pura Dasar Bhuana Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Empu Ghana. Di pura inilah Mpu Ghana yang dikenal sebagai seorang Brahmana yang memiliki peran penting perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi (berparahyangan).

Selain sebagai Dang Kahyangan, pura yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura, Klungkung itu juga merupakan pusat panyungsungan catur warga yang berasal dari soroh/ klan di antaranya soroh/ klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra Sanak Sapta Rsi), soroh Pande (Mahasamaya Warga Pande) dan klan Brahmana Siwa. Semuanya merupakan pengabih Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.


Masing-masing warga memiliki panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas -- panyungsungan Para Arya dan Satria Dalem. Meru Tumpang Tiga -- panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang menurunkan trah Pasek. Meru Tumpang Tiga sebagai penyungsungan warga Pande. Padma Tiga yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia (sembilan), panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh yang ada di dalamnya, diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengan konsep bersatunya semua klan yang ada di Bali dengan konsep ''kaula gusti menunggal''.

Pura yang dibangun di atas areal cukup luas itu, juga menjadi panyungsungan Subak Gde Suwecapura. Di antaranya Subak Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu. Panyungsungan dilakukan saat Karya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang bertepatan dengan Purnama Kapat.

Pura Dasar Bhuana di-empon Desa Pakraman Gelgel yang terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas -- Desa Gelgel, Desa Kamasan dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan keberadaan Keraton Suwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel. Namun, jika melihat tahun berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel diperintah raja pertama, Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakan warisan maha-agung ini didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi.

Sebagaimana sejarahnya, Pura Dasar Bhuana erat kaitannya dengan Mpu Ghana yang hidup pada akhir abad IX Masehi. Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatika sebagai bentuk penghormatan terhadap Mpu Ghana. Empu Ghana merupakan seorang brahmana dengan peran sangat besar terhadap perkembangan agama Hindu di Bali.
Empu Ghana adalah orang suci yang berasal dari Jawa. Tiba di Bali pada masa pemerintahan (suami-istri) Udayana Warmadewa dan Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan memerintah Bali pada tahun Caka 910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011 Masehi). Empu Ghana merupakan brahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur hidup menjalankan ajaran Sukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta (tidak menikah). Kaitannya setelah berdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini dipakai sebagai merajan keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis berada di timur laut Keraton Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapura berdiri di Banjar Jero Agung, Gelgel.
''Letak pura ini berada di hulu Keraton Suwecapura. Dulunya, disungsung keluarga Raja Gelgel,'' tutur Agung Anom Wijaya. Pura ini memang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Suwecapura. Sejumlah situs peninggalan Kerajaan Suwecapura masih tetap dilestarikan di pura ini sampai sekarang.

STRUKTUR PEMERINTAHAN
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

SISTEM KEPEMIMPINAN
Golongan ksatria memegang pimpinan di dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan keterangan golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya memerintah, mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan Bali kuna. Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau "Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung Widia, I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.
Untuk mengatur dan mengendalikan segala kelakuan dan kehidupan masyarakat diperlukan adanya hukum. dalam masyarakat Majapahit berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama Manawa Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang Agama.

KEHIDUPAN KEAGAMAAN.
Pengaruh agama Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali sangat besar. Hampir semua aspek kehidupannya dipancari oleh ajaran-ajaran agama Hindu sehingga kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan bersifat keagamaan atau sosial religious.
Kepercayaan agama Hindu yang terpenting adalah kepercayaan yang disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang mencakup :
Percaya akan adanya satu Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti mempunyai tiga wujud atau manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu memelihara dan Siwa mempralina.
Percaya terhadap konsep atman (roh abadi).
Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa).
Percaya terhadap hukum karmaphala (adanya buah dari setiap perbuatan).
Percaya akan adanya moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).
Pengaruh kepercayaan dalam masyarakat juga amat besar. Salah satu wujud dari pengaruh ini tampak dalam konsepsi dan aktifitas upacara yang muncul dalam frekwensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Bali, baik upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun oleh komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam lima macam yang disebut Panca yadnya, yaitu :
Dewa Yadnya, merupakan upacara-upacara pada putra maupun Pura Keluarga, yang ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi Hyang Widhi.
Rsi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang-orang suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
Pitra Yadnya, merupakan upacara yang di tujukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.
Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat mengganggu.
Manusa Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
BIDANG PENDIDIKAN, KESENIAN, KESUSASTRAAN
Pendidikan ketika ini mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan elite atau inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan.

Pura Dasar Gelgel
Orang-orang yang memberikan pendidikan terdiri dari orang-orang Brahmana. Orang-orang yang memberikan pelajaran disebut Sang Guru. Orang yang belajar disebut "sisya". Dalam proses belajar di sebut "aguru" sedangkan proses memberikan pelajaran disebut "asisia". Sebagai seorang sisya harus mentaati peraturan-peraturan yang ketat.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1523 M) banyak warganya mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat di bawa, termasuk seni dan budaya dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama zaman keemasan pemerintahan Dalem Batur Enggong (1460-1550). Hal in disebabkan raja menaruh perhatian besar dan memberikan pengayoman terhadap perkembangan kesenian khususnya seni tari di samping pemerintahan yang aman dan tentram.

Dalam masa Pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali, naskah-naskah lontar banyak dibawa dari Jawa ke Bali. Kalau kiranya yang demikian tidak terjadi, maka tidak akan banyak lagi yang tinggal dari kesusastraan Jawa Kuna. Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di Jawa naskah Kuna kurang mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.
Pura Segening Gelgel
Setelah Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun 1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3. Amerthamasa, 4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen. Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara.
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :
Pura Purancak di Jembrana,
Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan.
Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.

Periode Gelgel.
Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl’gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686). Gelgel: kerajaan di pulau Bali yang terbentuk setelah runtuhnya Majapahit. Kerajaan ini menganggap dirinya sebagai penerus sejati Majapahit.
Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.

Pemerintahan Raja-Raja Gelgel
Dalem Ktut Ngulesir Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang padaAsta Brata. Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa “Sanghyang” dengan sebutan “Sang” kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka bermukim dahulu.
Pada masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).

Dalem Batur Enggong
Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.
Dalem dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.
Dalem Bekung
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan,Dewa
Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.

Dalem Sagening
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
3. Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.

Dalem Anom Pemahyun
Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.

Dalem Dimade
Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.

Kryan Agung Maruti
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel yang dahulu.


Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.
Pemberontakan Di Nusa Penida, Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.
Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari Dalem Di Made. Pemberontakan Sagung Maruti, Setelah masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made terlalu memberikan kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri. Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah Dalem Di Made mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).
Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di Made di keraton Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang Maruti yang berkuasa di Gelgel.
Penyerangan dilakukan dari tiga arah secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih memukim di Alas Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan kemerdekaannya

Runtuhnya Kerajaan Gelgel
Bali tidak dapat lepas dari kejayaan masa lalu. Kerajaan Gelgel adalah satu diantaranya. Masa keemasan Bali pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong tidak dapat dipandang sebelah mata. Sosiokultural masyarakat Bali saat ini merupakan salah satu warisannya.
Masa Pengungsian, Kerajaan Gelgel di masa senja di mulai dari penggulingan kekuasaan raja oleh I Gusti Agung Maruti pada tahun 1686 Masehi. Setelah dikuasainya kerajaan Gelgel oleh I Gusti Agung Maruti maka Dalem Di Made (Putra Prami Dalem Sigening) bersama dua putra beliau yang masih sangat muda yaitu Dalem Pamayun dan Dalem Jambe dengan diiringi oleh pengawal – pengawal setia beliau mengungsi ke daerah Guliang. Adapun mereka yang mengawal beliau adalah keturunan dari : I Gusti Kekon Tubuh, I Dewa Pamayun, Sang Takmung dan warih Bagawanta Pedanda Wayahan Bun (beliau gugur saat pemberontakan I Gusti Agung Maruti ). Dalam masa pengungsian Dalem Di Made wafat di daerah Guliang. Sebagai rasa hormat yang teramat besar oleh rakyat , maka setelah upacara Palebon beliau didirikanlah sebuah pura ” Pura Dalem Agung ” di wilayah Guliang. Untuk menghindari pengejaran oleh para pengikut I Gusti Agung Maruti, kemudian Dalem Pamayun dan Dalem Jambe beserta pengiring beliau menuju daerah Bukit tepatnya daerah Kulub Tampaksiring Gianyar.
Berikut beberapa peninggalan Kerajaan Gelgel :
1. Pura Segening Gelgel
2. Kertha Gosa, Kertagosa adalah kompleks bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Klungkung pertama, Dewa Agung Jambe, pada abad ke-17. Dewa Agung Jambe adalah putera ke-2 dari Dalem Dimade, raja terakhir di kerajaan Gelgel yang juga disebut Suweca Pura. Setelah Dewa Agung menjadi raja Klungkung, maka dia membuat istana (puri) Klungkung yang diberi nama Semara Pura yang memunyai makna “tempat cinta kasih dan keindahan”. Di puri inilah terdapat kompleks Kertagosa yang terdiri dari dua bangunan pokok, yaitu bangunan Taman Gili dan bangunan Kertagosa.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah: (1) sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; (2) sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali; dan (3) sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung Putra Djambe Belanda melakukan penyerangan secara besar-besaran (selama tiga hari). Penyerangan itu mengakibatkan Puri Semara Pura hancur. Hanya ada beberapa bangunan yang tersisa antara lain bangunan Kertagosa, Taman Gili dan Pemedal Agung (pintu gerbang Puri). Dalam penyerangan yang kemudian dikenal sebagai “Persitiwa Puputan Klungkung” ini (28 April 1908) Dewa Agung Putra Djambe dan para pengikutnya gugur.
Setelah dikuasai oleh Belanda, Kertagosa tetap difungsikan sebagai balai sidang pengadilan. Pada tahun 1930 lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman Gili direstorasi oleh para seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi tersebut, lukisan yang menghiasi langit-langit bangunan yang semula terbuat dari kain dan parba diganti dan dibuat di atas eternit, lalu dibuat lagi sesuai dengan gambar aslinya. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Struktur Bangunan
Bangunan Kertagosa dan Taman Gili terdiri atas dua lantai.. Atap bangunan terbuat dari ijuk dan dilengkapi dengan undak (tangga naik). Atap tersebut diberi tambahan yang berupa hiasan patung dan relief (mengelilingi bangunan). Di samping itu pada langit-langit (plafon) diberi tambahan hiasan berupa lukisan tradisional bermotif wayang yang dilukis dengan gaya Kamasan. Lukisan yang ada di langit-langit bangunan Taman Gili berisi tentang cerita Sutasoma, Pan Brayut dan Palalintangan. Sedangkan, pada langit-langit bangunan Kertagosa lukisannya mengambil cerita Ni Dyah Tantri, Bima Swarga, Adi Parwa dan Pelelindon. Tema pokok dari cerita-cerita itu adalah parwa, yaitu Swaragaronkanaparwa yang memberi petunjuk hukum kerpa pahala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama hidupnya) serta penitisan kembali ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.
Cerita-cerita yang Terdapat pada Lukisan
1.Sutasoma
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.
2.PanBrayut
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.
3.Palalintangan
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.
4.NiDyahTantri
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.
5.BhimaSwarga
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.
6.Pelelindon
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.

Etika dalam pelaksanaan upacara di pura Kawitan Pasek Gelgel dan hubungannya dengan Pendidikan Agama Hindu
            Demikian tadi diatas telah dipaparkan mengenai sejarah berdirinya Pura Dasar Bhuana Gelgel. Wali atau upacara piodalan di Pura Dasar Bhuana Gelgel ini jatuh pada Purnama Kapat. Biasanya sebelum melakukan persiapan untuk upacara piodalan ini dilaksanakan paruman atau pesangkepan telebih dahulu oleh para laki-laki yang menjadi kepala keluarga pengempon pura. Untuk selanjutnya menentukan besarnya iuran yang dikenakan, dan pelaksanaan upacara ngayah.  Seminggu sebelum upacara piodalan dilaksanakan upacara Ngayah, yang dilaksanakan oleh warga penyungsung Pura. Mulai dari laki-laki dan juga para perempuan. Untuk laki-laki misalnya ngayah membuat taring, anyaman dari daun kelapa (klabang), katik dari bambu, klakat dan lain sebagainya.
Sementara untuk perempuan misalnya membuat canang, sampian dari janur, perlengkapan untuk membuat banten, dan lain-lain. Ngayah ini dilakukan setiap hari sampai puncak acara piodalan tiba. Para perempuan biasanya ngayah dari pagi kira-kira pukul 09.00-15.00 sore. Dalam pelaksnaan ngayah ini terdapat nilai pendidikan agama Hindu yang terlihat, yaitu dimana Pura selain fungsinya sebagai tempat sembahyang juga bisa dijadikan tempat untuk belajar mejejahitan, membut canang, membuat banten bagi kaum perempuan yang mungkin awalnya pengetahuannya masih kurang.  Dan biasanya dalam setiap pelaksanaan upacara piodalan ini masing-masing kepala keluarga pengempon atau penyungsung pura dikenakan iuran atau yang disebut juga urunan yang besarnya berubah setiap pelaksanaan piodalan yang disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Di areal pura pun disediakan kotak dana punia bagi para pamedek yang ingin berdana punia.
 Kemudian saat upacara piodalan tiba, semua penyungsung Pura atau pamedek tangkil dengan membawa sesajen berupa banten dan sarana persembahyangan. Upacara persembahyangan dilakukan secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang pinandita (pemangku). Setelah pelaksanaan upacara selesai dilaksnanakan pula upacara ngayah kembali keesokan harinya, yaitu untuk membersihkan areal pura dari sampah-sampah yang dibuang selama pelaksanaan upacara wali atau piodalan.


EmoticonEmoticon