Pura Dasar Buana Gelgel Berkonsep
Kaula Gusti Menunggal, Penghormatan pada Empu Ghana.
Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel,
Klungkung merupakan salah satu peninggalan sejarah Klungkung yang dikenal
sebagai pusat kerajaan di Bali. Selain sebagai satu-satunya pura dasar yang ada
di Bali, pura ini juga memiliki keunikan dan fungsi khusus. Seperti apa
keunikan dan fungsi dari keberadaan pura ini? Pura
Dasar Bhuana terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Dari Denpasar, berjarak
sekitar 42 kilometer. Pura ini berdiri di atas lahan yang cukup luas. Berdiri
megah dan tampak asri di pinggir jalan utama Gelgel-Jumpai. Sebagimana umumnya
Pura-pura di Bali, Pura Dasar Bhuana memiliki tiga mandala -- Nista Mandala,
Madya Mandala dan Utama Mandala. Di bagian Nista Mandala terlihat keangkeran
pohon beringin besar yang tumbuh sejak berabad-abad lamanya.
Masuk ke Madya Mandala, pamedek bisa
melihat bangunan-bangunan berupa Pelinggih Bale Agung. Pelinggih ini tampak
unik karena panjangnya mencapai 12 meter. Bersebelahan dengan Bale Pesanekan
dan pelinggih tempat berstanakan seluruh petapakan dan pratima Pura-pura yang
ada di Desa Pakraman Gelgel. Pratima maupun petapakan itu tedun dan distanakan
saat berlangsung Karya Agung Pedudusan (Ngusaba) yang dilaksanakan bertepatan
dengan Purnama Kapat.
Sementara di Utama Mandala terdapat
belasan pelinggih di antaranya Meru Tumpang Solas, Meru Tumpang Telu, Padma
Tiga dan banyak lagi pelinggih lainnya. Dalam setahun, ada dua wali/ karya
digelar yakni wali bertepatan dengan Pamacekan Agung, serta wali/ karya
Padudusan yang jatuh pada Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu
Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatikta (Kerajaan Majapahit) pada tahun Caka 1189
atau tahun 1267 Masehi. Pura ini merupakan salah satu Dang Kahyangan Jagat di
Bali. Pada masa Kerajaan Majapahit, Pura Dang Kahyangan dibangun untuk
menghormati jasa-jasa pandita (guru suci). Pura Dang Kahyangan dikelompokkan
berdasarkan sejarah. Di mana, pura yang dikenal sebagai tempat pemujaan di masa
kerajaan di Bali, dimasukkan ke dalam kelompok Pura Dang Kahyangan Jagat.
Keberadaan Pura Dang Kahyangan tidak bisa dilepaskan dari ajaran Rsi Rena dalam
agama Hindu.
Pura atau Ashram yang dibangun pada
tempat di mana Maharsi melakukan yoga semadi adalah sebagai bentuk penghormatan
kepada Sang Maharsi. Seperti Pura Silayukti di Karangasem. Silayukti diyakini
sebagai tempat moksanya Mpu Kuturan. Demikian pula dengan Pura Dasar Bhuana
Gelgel yang dibangun sebagai penghormatan terhadap Empu Ghana. Di pura inilah
Mpu Ghana yang dikenal sebagai seorang Brahmana yang memiliki peran penting
perkembangan agama Hindu di Bali, beryoga semadi (berparahyangan).
Selain sebagai Dang Kahyangan, pura
yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Kota Semarapura, Klungkung itu juga
merupakan pusat panyungsungan catur warga yang berasal dari soroh/ klan di
antaranya soroh/ klan Satria Dalem, Pasek (Maha Gotra Sanak Sapta Rsi), soroh
Pande (Mahasamaya Warga Pande) dan klan Brahmana Siwa. Semuanya merupakan
pengabih Ida Batara di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Masing-masing warga memiliki
panyungsungan, seperti Meru Tumpang Solas -- panyungsungan Para Arya dan Satria
Dalem. Meru Tumpang Tiga -- panyungsungan Keturunan Mpu Geni yang menurunkan
trah Pasek. Meru Tumpang Tiga sebagai penyungsungan warga Pande. Padma Tiga
yang berada di antara Meru Tumpang Solas dan Meru Tumpang Sia (sembilan),
panyungsungan warga Brahmana. Dengan banyaknya soroh yang ada di dalamnya,
diyakini Pura Dasar Bhuana merupakan pemersatu jagat dengan konsep bersatunya
semua klan yang ada di Bali dengan konsep ''kaula gusti menunggal''.
Pura yang dibangun di atas areal cukup
luas itu, juga menjadi panyungsungan Subak Gde Suwecapura. Di antaranya Subak
Pegatepan, Kacang Dawa, Toya Ehe dan Toya Cawu. Panyungsungan dilakukan saat
Karya Pedudusan Agung lan Pawintenan yang bertepatan dengan Purnama Kapat.
Pura Dasar Bhuana di-empon Desa Pakraman
Gelgel yang terdiri atas 28 banjar dan tiga desa dinas -- Desa Gelgel, Desa
Kamasan dan Desa Tojan. Keberadaannya berkaitan erat dengan keberadaan Keraton
Suwecapura tempo dulu yang juga berada di Gelgel. Namun, jika melihat tahun
berdirinya, pura ini sudah ada jauh sebelum Gelgel diperintah raja pertama,
Dalem Ketut Ngulesir (1380-1400). Pura yang merupakan warisan maha-agung ini
didirikan pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Masehi.
Sebagaimana sejarahnya, Pura Dasar
Bhuana erat kaitannya dengan Mpu Ghana yang hidup pada akhir abad IX Masehi.
Pura Dasar Bhuana dibangun Mpu Dwijaksara dari Kerajaan Wilwatika sebagai
bentuk penghormatan terhadap Mpu Ghana. Empu Ghana merupakan seorang brahmana
dengan peran sangat besar terhadap perkembangan agama Hindu di Bali.
Empu Ghana adalah orang suci yang
berasal dari Jawa. Tiba di Bali pada masa pemerintahan (suami-istri) Udayana
Warmadewa dan Gunapraya Gharmapatni yang berkuasa dan memerintah Bali pada
tahun Caka 910 sampai tahun Saka 933 (tahun 988-1011 Masehi). Empu Ghana
merupakan brahmana penganut paham Ghanapatya. Seumur hidup menjalankan ajaran
Sukla Brahmacari yakni tidak menjalani masa Grahasta (tidak menikah). Kaitannya
setelah berdirinya Kerajaan Suwecapura, pura ini dipakai sebagai merajan
keluarga raja saat itu. Letak pura ini persis berada di timur laut Keraton
Suwecapura. Pada zaman itu, Keraton Suwecapura berdiri di Banjar Jero Agung,
Gelgel.
''Letak pura ini berada di hulu
Keraton Suwecapura. Dulunya, disungsung keluarga Raja Gelgel,'' tutur Agung Anom
Wijaya. Pura ini memang erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Suwecapura.
Sejumlah situs peninggalan Kerajaan Suwecapura masih tetap dilestarikan di pura
ini sampai sekarang.
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut
dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan
pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap
berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan
rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem
pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di
dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang
berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta
biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk
keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama
yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.
SISTEM KEPEMIMPINAN
Golongan ksatria memegang pimpinan di
dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan
dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan keterangan
golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya memerintah,
mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di bawah raja
merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan Bali kuna. Secara turun
temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau "Arya" seperti
Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung Widia, I Gusti Agung Kaler
Pranawa dan lain-lain.
Untuk mengatur dan mengendalikan
segala kelakuan dan kehidupan masyarakat diperlukan adanya hukum. dalam
masyarakat Majapahit berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama
Manawa Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang
Agama.
KEHIDUPAN KEAGAMAAN.
Pengaruh agama Hindu dalam kehidupan
masyarakat Bali sangat besar. Hampir semua aspek kehidupannya dipancari oleh
ajaran-ajaran agama Hindu sehingga kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan
bersifat keagamaan atau sosial religious.
Kepercayaan agama Hindu yang
terpenting adalah kepercayaan yang disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang
mencakup :
Percaya akan adanya satu Tuhan, Ida
Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti
mempunyai tiga wujud atau manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu
memelihara dan Siwa mempralina.
Percaya terhadap konsep atman (roh
abadi).
Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran
kembali dari jiwa).
Percaya terhadap hukum karmaphala
(adanya buah dari setiap perbuatan).
Percaya akan adanya moksa (kebebasan
jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).
Pengaruh kepercayaan dalam masyarakat
juga amat besar. Salah satu wujud dari pengaruh ini tampak dalam konsepsi dan
aktifitas upacara yang muncul dalam frekwensi yang tinggi dalam kehidupan
masyarakat Bali, baik upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun
oleh komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam lima
macam yang disebut Panca yadnya, yaitu :
Dewa Yadnya, merupakan upacara-upacara
pada putra maupun Pura Keluarga, yang ditujukan kepada para Dewa sebagai
manifestasi Hyang Widhi.
Rsi Yadnya, merupakan upacara yang
berhubungan orang-orang suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
Pitra Yadnya, merupakan upacara yang
di tujukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada
upacara penyucian roh leluhur.
Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang
ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat
mengganggu.
Manusa Yadnya, meliputi upacara daur
hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
BIDANG PENDIDIKAN, KESENIAN,
KESUSASTRAAN
Pendidikan ketika ini mempunyai corak
yang sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan
elite atau inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan
keagamaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan.
Pura Dasar Gelgel
Orang-orang yang memberikan pendidikan
terdiri dari orang-orang Brahmana. Orang-orang yang memberikan pelajaran
disebut Sang Guru. Orang yang belajar disebut "sisya". Dalam proses
belajar di sebut "aguru" sedangkan proses memberikan pelajaran
disebut "asisia". Sebagai seorang sisya harus mentaati
peraturan-peraturan yang ketat.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit
(1523 M) banyak warganya mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat
di bawa, termasuk seni dan budaya dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini
berkembang dengan suburnya terutama zaman keemasan pemerintahan Dalem Batur
Enggong (1460-1550). Hal in disebabkan raja menaruh perhatian besar dan
memberikan pengayoman terhadap perkembangan kesenian khususnya seni tari di
samping pemerintahan yang aman dan tentram.
Dalam masa Pemerintahan Dalem Batur
Enggong di Bali, naskah-naskah lontar banyak dibawa dari Jawa ke Bali. Kalau
kiranya yang demikian tidak terjadi, maka tidak akan banyak lagi yang tinggal
dari kesusastraan Jawa Kuna. Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di
Jawa naskah Kuna kurang mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.
Pura Segening Gelgel
Setelah Dalem Batur Enggong wafat
digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun 1380-1665 M. Pada masa ini muncul
Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2.
Rangga Wuni, 3. Amerthamasa, 4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7.
Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen.
Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri
mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara.
Pura-pura yang dibangun atas petunjuk
Dang Hyang Dwijendra adalah :
Pura Purancak di Jembrana,
Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh
Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan
rambut Dang Hyang Dwijendra,
Pura Pakendungan di desa Braban
Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba
Tabanan.
Pura Petitenget di pantai laut dekat
desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di
desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai
isyarat dari Hyang widhi.
Periode Gelgel.
Karena ketidakcakapan Raden Agra
Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir.
Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl’gɛl/).
Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan
raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem
Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga
ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan
Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak
kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung
(1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made
(1605—1686). Gelgel: kerajaan di pulau Bali yang terbentuk setelah runtuhnya
Majapahit. Kerajaan ini menganggap dirinya sebagai penerus sejati Majapahit.
Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut
dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan
pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap
berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan
rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem
pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di
dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang
berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta
biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk
keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang
pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.
Pemerintahan Raja-Raja Gelgel
Dalem Ktut Ngulesir Merupakan raja
pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun (tahun
1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja
Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat Sanghyang Semara,
serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang padaAsta Brata. Dalem
Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi penghargaan kepada
orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat
salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa
“Sanghyang” dengan sebutan “Sang” kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka
bermukim dahulu.
Pada masa pemerintahan prabhu Hayam
Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem
Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan
tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat
yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai
Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).
Dalem Batur Enggong
Dalem Batur Enggong memerintah mulai
tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan
negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir,
para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.
Dalem dapat mengembangkan kemajuan
kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan,
hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak
membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai
suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh.
Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa
di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.
Dalem Bekung
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong,
maka menurut tradisi yang berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya
yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya
belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung.
Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa
Pagedangan,Dewa
Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima
orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.
Dalem Sagening
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja
pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat
menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas,
berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih
kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte,
sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
1. I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
2. I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis), beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
3. Kyai Barak Panji, beribu dari Ni
Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di
daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan
Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
Dalem Anom Pemahyun
Setelah Dalem Sagening wafat pada
tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar
Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan
pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat
yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.
Dalem Dimade
Setelah Dalem Anom Pemahyun
meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan
kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar,
bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah
Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita
tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai
demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.
Kryan Agung Maruti
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah
dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem
Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh
Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan
kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di
antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat,
sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan
Gelgel yang dahulu.
Struktur Pemerintahan
Raja sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut
dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan
pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap
berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan
rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan
tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh
pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.
Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang
berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta
biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk
keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang
pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.
Pemberontakan Di Nusa Penida, Menurut
“Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa Pemerintahan Dalem Di Made telah
terjadi pemberontakan terhadap kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg
Dalem Bungkut. Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian
menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak sebagai pimpinan
pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.
Laskar Gelgel bertolak dari pantai
Kusamba dengan pasukan yang berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan
Kyai Jelantik disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti
andalannya “ Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka
sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu. Disana telah menanti
rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa
Penida dan kedatangan laskar Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya
dari belenggu kekuasaan Dalem Bungkut.
Perlawanan Dalem Bungkut tidak
berlangsung lama karena tidak mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga
memungkinkan Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam
perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan beliau tewas
terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa pendukungnya kemudian
menyerahkan diri karena pimpinannya sudah tidak ada lagi. Keamanan dan
ketentraman daerah Nusa Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik
kembali ke Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan Kyai
Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida mendapat penghargaan dari
Dalem Di Made. Pemberontakan Sagung Maruti, Setelah
masa pemerintahan Dalem Segening berakhir, akhirnya Gelgel diperintah oleh
Dalem Di MAde sekaligus sebagai raja terakhir masa kerajaan Gelgel. Saat-saat
damai yang pernah dirintis oleh Dalem Segening tidak dapat dipertahankan oleh
Dalem Di Made. Hal ini disebabkan karena Dalem Di Made terlalu memberikan
kepercayaan yang berlebihan kepada pengabihnya I Gusti Agung Maruti. Sehingga
pembesar-pembesar lainnya memilih untuk meninggalkan puri. Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan
oleh I Gusti Agung MAruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Di Made. Usaha
ini ternyata berhasil, Dalem Di Made beserta putra-putranya menyelamatkan diri
ke desa Guliang diiring oleh sekitar 300 orang yang masih setia. Disinilah
Dalem Di Made mendirikan keraton baru. Hampir selama 35 tahun Gelgel mengalami
kevakuman karena Dalem Di Made telah mengungsi ke Guliang (Gianyar).
Sementara Maruti menguasai Gelgel. Hal
ini justru membuat Bali terpecah-pecah yang mengakibatkan beberapa kerajaan
bagian seperti Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli
ikut menyatakan diri merdeka keadaan ini diperparah dengan wafatnya Dalem Di
Made di keraton Guliang. Dengan wafatnya Dalem Di Made, membuat para pembesar
kerajaan menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti
Kepakisan. Hal ini dipelopori oleh tiga orang pejabat keraton Panji Sakti, Ki
Bagus Sidemen, dan Jambe Pule, mereka akhirnya menyusun strategi unuk menyerang
Maruti yang berkuasa di Gelgel.
Penyerangan dilakukan dari tiga arah
secara serentak yang membuat Maruti dan pengikutnya tidak sanggup
mempertahankan Gelgel. Maruti berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian
memilih memukim di Alas Rangkan.kerajaan Klungkung. Pada tahun 1686 putra Dalem
Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan dari tangan
pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke istana Samarapura di
Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap mempertahankan
kemerdekaannya
Runtuhnya Kerajaan Gelgel
Bali tidak dapat lepas dari kejayaan
masa lalu. Kerajaan Gelgel adalah satu diantaranya. Masa keemasan Bali pada
masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong tidak dapat dipandang sebelah mata.
Sosiokultural masyarakat Bali saat ini merupakan salah satu warisannya.
Masa Pengungsian, Kerajaan Gelgel di
masa senja di mulai dari penggulingan kekuasaan raja oleh I Gusti Agung Maruti
pada tahun 1686 Masehi. Setelah dikuasainya kerajaan Gelgel oleh I Gusti Agung
Maruti maka Dalem Di Made (Putra Prami Dalem Sigening) bersama dua putra beliau
yang masih sangat muda yaitu Dalem Pamayun dan Dalem Jambe dengan diiringi oleh
pengawal – pengawal setia beliau mengungsi ke daerah Guliang. Adapun mereka
yang mengawal beliau adalah keturunan dari : I Gusti Kekon Tubuh, I Dewa Pamayun,
Sang Takmung dan warih Bagawanta Pedanda Wayahan Bun (beliau gugur saat
pemberontakan I Gusti Agung Maruti ). Dalam masa pengungsian Dalem Di Made
wafat di daerah Guliang. Sebagai rasa hormat yang teramat besar oleh rakyat ,
maka setelah upacara Palebon beliau didirikanlah sebuah pura ” Pura Dalem Agung
” di wilayah Guliang. Untuk menghindari pengejaran oleh para pengikut I Gusti
Agung Maruti, kemudian Dalem Pamayun dan Dalem Jambe beserta pengiring beliau
menuju daerah Bukit tepatnya daerah Kulub Tampaksiring Gianyar.
Berikut beberapa peninggalan Kerajaan
Gelgel :
1. Pura Segening Gelgel
1. Pura Segening Gelgel
2. Kertha Gosa, Kertagosa adalah
kompleks bangunan kuno yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Klungkung
pertama, Dewa Agung Jambe, pada abad ke-17. Dewa Agung Jambe adalah putera ke-2
dari Dalem Dimade, raja terakhir di kerajaan Gelgel yang juga disebut Suweca
Pura. Setelah Dewa Agung menjadi raja Klungkung, maka dia membuat istana (puri)
Klungkung yang diberi nama Semara Pura yang memunyai makna “tempat cinta kasih dan
keindahan”. Di puri inilah terdapat kompleks Kertagosa yang terdiri dari dua
bangunan pokok, yaitu bangunan Taman Gili dan bangunan Kertagosa.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah: (1) sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; (2) sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali; dan (3) sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Bangunan Kertagosa pada zaman dahulu mempunyai beberapa fungsi, di antaranya adalah: (1) sebagai tempat persidangan yang dipimpin oleh raja sebagai hakim tertinggi; (2) sebagai tempat pertemuan bagi raja-raja yang ada di Bali; dan (3) sebagai tempat melaksanakan upacara Manusa Yadnya atau potong gigi (mepandes) bagi putera-puteri raja.
Pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung
Putra Djambe Belanda melakukan penyerangan secara besar-besaran (selama tiga
hari). Penyerangan itu mengakibatkan Puri Semara Pura hancur. Hanya ada
beberapa bangunan yang tersisa antara lain bangunan Kertagosa, Taman Gili dan
Pemedal Agung (pintu gerbang Puri). Dalam penyerangan yang kemudian dikenal
sebagai “Persitiwa Puputan Klungkung” ini (28 April 1908) Dewa Agung Putra
Djambe dan para pengikutnya gugur.
Setelah dikuasai oleh Belanda,
Kertagosa tetap difungsikan sebagai balai sidang pengadilan. Pada tahun 1930
lukisan wayang yang terdapat di Kertagosa dan Taman Gili direstorasi oleh para
seniman lukis dari Kamasan. Dalam restorasi tersebut, lukisan yang menghiasi
langit-langit bangunan yang semula terbuat dari kain dan parba diganti dan dibuat
di atas eternit, lalu dibuat lagi sesuai dengan gambar aslinya. Restorasi
lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Struktur Bangunan
Bangunan Kertagosa dan Taman Gili
terdiri atas dua lantai.. Atap bangunan terbuat dari ijuk dan dilengkapi dengan
undak (tangga naik). Atap tersebut diberi tambahan yang berupa hiasan patung
dan relief (mengelilingi bangunan). Di samping itu pada langit-langit (plafon)
diberi tambahan hiasan berupa lukisan tradisional bermotif wayang yang dilukis
dengan gaya Kamasan. Lukisan yang ada di langit-langit bangunan Taman Gili
berisi tentang cerita Sutasoma, Pan Brayut dan Palalintangan. Sedangkan, pada
langit-langit bangunan Kertagosa lukisannya mengambil cerita Ni Dyah Tantri,
Bima Swarga, Adi Parwa dan Pelelindon. Tema pokok dari cerita-cerita itu adalah
parwa, yaitu Swaragaronkanaparwa yang memberi petunjuk hukum kerpa pahala
(akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama hidupnya)
serta penitisan kembali ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.
Cerita-cerita yang Terdapat pada
Lukisan
1.Sutasoma
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.
Cerita Sutasoma dapat disaksikan di bangunan Taman Gili pada panel tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat dari atas pada langit-langit bangunan. Cara membacanya dimulai dari panil paling atas sebelah selatan, dari kiri ke kanan. Fragmen ini menceriterakan perjalanan Sang Sutasoma dari kerjaan Astina menuju pegunungan Mahameru. Dalam perjalanan tersebut banyak rintangan yang harus dihadapi, tetapi dengan kekuatan batin yang dimiliki, Sutasoma berhasil mengatasi segala rintangan.
2.PanBrayut
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.
Ceritera Pan Brayut tergambar pada deret kelima dari atas, pada langit-langit Taman Gili. Sedangkan, kronologi ceritera dapat disaksikan dari pojok timur-laut ke selatan. Lukisan ini menceriterakan kehidupan Pan Brayut yang dikaruniai 18 anak, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain, kecuali mengurus anak.
3.Palalintangan
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.
Panel mengenai Palalintangan, terdapat pada deret paling bawah langit-langit bangunan Taman Gili. Palalintangan adalah pengertian akan adanya pengaruh bintang-bintang di langit terhadap kelahiran manusia. Di sini diceriterakan adanya 35 macam watak manusia yang berbeda-beda menurut hari lahirnya.
4.NiDyahTantri
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.
Cerita Ni Dyah Tantri terdapat pada panil paling pertama (paling bawah) pada langit-langit bangunan Kertagosa, yang dimulai dari panel sebelah timur beriring ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Cerita Ni Dyah Tantri, menceritakan seorang gadis bernama Ni Dyah Tantri yang berusaha menghapuskan keinginan seorang raja untuk selalu mengawini gadis setiap hari. Ni Dyah Tantri adalah seorang puteri Maha Patih dari Raja yang suka perempuan tersebut. Sebagai Maha Patih setiap hari dititahkan oleh Raja mencari seorang gadis. Untuk itu Ni Dyat Tantri berani mengorbankan dirinya membantu ayahnya untuk mendampingi menjadi isteri raja. Karena kepandaiannya berceritera, setiap malam Ni Dyah Tantri memberi ceritera kepada raja tersebut sehingga keinginannya untuk setiap hari mengawini seorang gadis dapat dihilangkan.
5.BhimaSwarga
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.
Cerita Bhima Swarga dilukiskan pada panil tingkat kedua dan ketiga dan dilanjutkan pada panil tingkat keenam, ketujuh dan kedelapan, pada bangunan Balai Kertagosa. Cerita dimulai pada panil sebelah timur kemudian selatan, barat dan utara, mengelilingi bangunan hingga berakhirnya ceritera ini. Cerita Bhima Swarga menceriterakan perjalanan Bhima (putera kedua Pandawa) ke Yamaloka yang disertai oleh ibunya Dewi Kunti, saudara-saudaranya (Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa), untuk mencari ayahnya, Pandhu dan ibu tirinya, Dewi Madrim. Di Yamaloka, dijumpai berbagai peristiwa yang dialami oleh roh (atma) sesuai dengan perbuatannya di dunia. Misalnya orang yang suka berdusta lidahnya ditarik, orang yang suka berzinah dibakar dan sebagainya. Apa pun rintangan yang dihadapinya, tetapi karena semangat dan ketetapan hati yang dimiliki, akhirnya Bhima berhasil memperoleh air suci (amrta) yang dapat dipergunakan untuk menebus ayah dan ibu tirinya di Yamaloka.
6.Pelelindon
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.
Pelelindon dilukiskan pada panil tingkat kelima dari bawah pada langit-langit bangunan Balai Kertagosa. Ceritera Pelelindon ini dimulai dari tengah-tengah panil sebelah utara selanjutnya berurutan ke timur, selatan, barat dan kembali pada panil sebelah utara.
Etika
dalam pelaksanaan upacara di pura Kawitan Pasek Gelgel dan hubungannya dengan
Pendidikan Agama Hindu
Demikian
tadi diatas telah dipaparkan mengenai sejarah berdirinya Pura Dasar Bhuana
Gelgel. Wali atau upacara piodalan di Pura Dasar Bhuana Gelgel ini jatuh
pada Purnama Kapat. Biasanya sebelum melakukan persiapan untuk upacara
piodalan ini dilaksanakan paruman atau pesangkepan telebih dahulu oleh para
laki-laki yang menjadi kepala keluarga pengempon pura. Untuk selanjutnya
menentukan besarnya iuran yang dikenakan, dan pelaksanaan upacara ngayah. Seminggu
sebelum upacara piodalan dilaksanakan upacara Ngayah, yang dilaksanakan oleh
warga penyungsung Pura. Mulai dari laki-laki dan juga para perempuan. Untuk
laki-laki misalnya ngayah membuat taring, anyaman dari daun kelapa (klabang),
katik dari bambu, klakat dan lain sebagainya.
Sementara untuk perempuan misalnya
membuat canang, sampian dari janur, perlengkapan untuk membuat banten, dan
lain-lain. Ngayah ini dilakukan setiap hari sampai puncak acara piodalan tiba.
Para perempuan biasanya ngayah dari pagi kira-kira pukul 09.00-15.00 sore.
Dalam pelaksnaan ngayah ini terdapat nilai pendidikan agama Hindu yang
terlihat, yaitu dimana Pura selain fungsinya sebagai tempat sembahyang juga
bisa dijadikan tempat untuk belajar mejejahitan, membut canang, membuat banten
bagi kaum perempuan yang mungkin awalnya pengetahuannya masih kurang. Dan
biasanya dalam setiap pelaksanaan upacara piodalan ini masing-masing kepala
keluarga pengempon atau penyungsung pura dikenakan iuran atau yang disebut juga
urunan yang besarnya berubah setiap pelaksanaan piodalan yang disesuaikan dengan
kondisi pada saat itu. Di areal pura pun disediakan kotak dana punia bagi para
pamedek yang ingin berdana punia.
Kemudian saat upacara piodalan
tiba, semua penyungsung Pura atau pamedek tangkil dengan membawa sesajen berupa
banten dan sarana persembahyangan. Upacara persembahyangan dilakukan secara
bersama-sama yang dipimpin oleh seorang pinandita (pemangku). Setelah
pelaksanaan upacara selesai dilaksnanakan pula upacara ngayah kembali keesokan
harinya, yaitu untuk membersihkan areal pura dari sampah-sampah yang dibuang
selama pelaksanaan upacara wali atau piodalan.
EmoticonEmoticon