Kakawin Nagarakretagama atau juga disebut
dengan nama kakawin Desawarnana atau juga disebut dengan nama kakawin
Desawarnana bisa dikatakan merupakan Kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang
paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan
kembali pada tahun 1894 oleh J.LA Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang
mengiringi ekspedisi tentara knil di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja
Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
Negarakertagama diperkenalkan dalam bahasa
Inggris lewat Java in the 14th century, antara 1960-1963, oleh Pigeaud.
Dipopulerkan lewat kalangwan, juga dalam bahasa Inggris, oleh Zoetmulder, pada
1974, sebagai salah satu naskah sastra Jawa Kuno yang dikumpulkan disana. dan
baru pada 1979 untuk pertama kalinya Nagarakertagama bisa dibaca
dalam bahasa Indonesia lewat terjemahan Slamet Mulyana.
Naskah Nagara Kretagama ditemukan sebanyak 5
(lima) naskah. Pada 7 Juli 1978 di kota Antapura, Kabupaten Lombok, pulau Bali
ditemukan 1 (satu) naskah dengan judul Desawarnana, tersimpan di Geria Pidada,
Karang Asem. Pada tahun 1874 di Puri Cakranegara, pulau
Lombok di temukan 1 (satu) naskah dengan judul Nagara Kretagama. Selanjutnya,
tidak diketahui angka tahun penemuannya, di Geria Pidada, Klungkung ditemukan
turunan rontal Nagara Kretagama 1 (satu) naskah dan di Geria Carik Sideman
ditemukan 2 (dua) naskah turunan Nagara Kretagama juga. Nagara Kretagama berisi
uraian tentang hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya
pemerintahan, adat istiadat, candi makam para leluhur. Dan desa-desa perdikan,
keadaan ibu kota, keadaan desa-desa sepanjang jalan keliling Sang Prabu pada
1359 masehi.
Peran Nagarakretagama sebagai sumber sejarah kuno Indonesia relatif besar meski ada yang berpendapat Nagarakretagama dipengaruhi unsur subyektif dalam rangka menyenangkan penguasa saat itu. Nagarakretagama memiliki nama lain, yakni Desawarnana atau Uraian tentang Desa-desa, seperti tercantum dalam pupuh 94. Ini karena Raja Hayam Wuruk sering turun ke bawah untuk menghormati nenek moyangnya dan masyarakatnya.
Peran Nagarakretagama sebagai sumber sejarah kuno Indonesia relatif besar meski ada yang berpendapat Nagarakretagama dipengaruhi unsur subyektif dalam rangka menyenangkan penguasa saat itu. Nagarakretagama memiliki nama lain, yakni Desawarnana atau Uraian tentang Desa-desa, seperti tercantum dalam pupuh 94. Ini karena Raja Hayam Wuruk sering turun ke bawah untuk menghormati nenek moyangnya dan masyarakatnya.
Nagarakretagama merupakan sebuah "karya
jurnalistik" terbaik, sementara Mpu Prapanca dikatakan
"wartawan" tersohor dari Kerajaan Majapahit. Namun, banyak hal yang
masih terabaikan hingga kini, misalnya penelitian terhadap candi-candi dan
desa-desa yang disebutkan dalam kitab itu. Mpu Prapanca sendiri dipandang
sebagai pelopor arkeologi Indonesia dan pendahulu historic archaeology
(arkeologi sejarah). Ini karena Prapanca membuat semacam inventarisasi dan
deskripsi mengenai berbagai jenis peninggalan purbakala yang ada pada zamannya.
Prapanca telah melakukan field survey (survei lapangan), suatu hal yang
menguntungkan dunia ilmu pengetahuan
Menurut Budya Pradipta dalam makalah ”Bedah Naskah Nagarakretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 2005, wilayah Majapahit dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu
Menurut Budya Pradipta dalam makalah ”Bedah Naskah Nagarakretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 2005, wilayah Majapahit dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu
1. Jawa meliputi Nagara
Majapahit, Jiwana, Singasari, Wengker, Lasem, Daha, Pajang, Matahun, Paguhan,
Wirabhumi, Mataram, Pawwanawwan, dan Kebalan.
2. Digantara artinya wilayah
lain yaitu daerah yang takluk kepada raja Rajasanagara selain Jawa. Daerah
tersebut adalah Pahang, Melayu, Gurun, dan bakulapura.
3. Nusantara adalah
pulau-pulau lain, yang termasuk Nusantara adalah Daerah melayu, daerah Tanjung
Nagara, dan daerah Semenanjung Malaya. Desantara adalah segala penjuru, seluruh
angkasa, daerah lain, dan negara lain,
4. Desantara adalah Syangka,
Ayodyapura, Dharmanagari, marutama, Rajapura, Anghanagari, Campa, Kamboja.
5. Dwipantara adalah kepulauan
lain, yang termasuk dwipantara dan mitra adalah Yawana, Cina, Karnataka, dan
Goda.
Di balik kontroversi ini ada hal menarik: Sunda dan Madura tidaklah disebut sebagai wilayah kerajaan, padahal teks ini menyebut banyak sekali daerah dari ujung utara pulau Sumatra, Brunei sampai Papua (dalam teks disebut Wwanin = Onin).
Di balik kontroversi ini ada hal menarik: Sunda dan Madura tidaklah disebut sebagai wilayah kerajaan, padahal teks ini menyebut banyak sekali daerah dari ujung utara pulau Sumatra, Brunei sampai Papua (dalam teks disebut Wwanin = Onin).
Penulisnya mengakui Nagarakretagama bukan
buku pertama yang ditulisnya. Sebelumnya Prapanca telah menulis Parwasagara,
Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua kitab lagi yang belum selesai, yaitu
Saba Abda dan Lambang. Namun semua ini sampai sekarang belum ditemukan atau
memang sudah hancur.
Nagarakretagama artinya adalah "Negara
dengan Tradisi (Agama) yang suci. Tetapi pengarangnya juga menyebutnya
Deśawarṇana, yang berarti "Penulisan tentang Daerah-Daerah". Nagarakretagama digubah oleh mpu Prapanca
pada tahun 1365 Masehi (tahun 1287 Saka di desa Kamalasana di lereng Gunung.
Sewaktu menulis Nagarakretagama, Prapañca masih belum bergelar mpu karena masih
seorang calon pujangga. Ayahnya bernama mpu Nadendra dan memegang jabatan:
Dharmâdhyaksa ring Kasogatan, atau Ketua dalam urusan agama Budha.
Nagarakrtagama terdiri dari
98 pupuh. Naskah ini dimulai dengan pemujaan terhadap
raja Wilwatikta yakni raja Majapahit dijaman raja Hayam Wuruk yang disebutkan
sebagai Siwa-Budha yaitu Rajasanagara. Tujuh pupuh berikutnya berisi tentang
raja dan keluarganya, sembilan pupuh kemudian tentang istana dan kota
Majapahit. Dari sinilah sejarawan dan arkeolog merekonstruksi sejarah
Majapahit. Bagian paling panjang merupakan catatan perjalanan Hayam Wuruk ke
Lumajang (23 pupuh) yang dilakukan pada bulan Agustus sampai September 1359.
Sepuluh pupuh diantaranya menceritakan
silsilah singkat raja-raja Singasari dan Majapahit (wangsa Girindra). Maklum
Singasari dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang tidak dapat dipisahkan.
Bagian berikutnya menceritakan perburuan raja (10 pupuh), kisah Gadjah Mada (23
pupuh), dan upacara sraddha bagi ibunda raja (9 pupuh). Dan tujuh pupuh
terakhir menceritakan diri Prapanca sendiri.
Teks ini semula dikira hanya terwariskan
dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.LA Brandes, seorang ahli
Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu Istana Raja Lombok pada tahun 1894.
Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan
Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah
lontar. Salah satunya adalah lontar Nagakretagama ini. Semua naskah dari Lombok
ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur.
Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Laiden Belanda.
Naskah Nagarakretagama disimpan di Leiden dan
diberi nomor kode L Or 5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana, Belanda ke
Indonesia pada tahun 1973, naskah ini diserahkan kepada Republik Indonesia. Konon naskah ini langsung
disimpan oleh Ibu Tien Soeharto di rumahnya, namun ini tidak benar. Naskah
disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi Kode NB 9.
PENGARANGNYA
Mpu Prapañca adalah seorang bujangga sastra
Jawa yang hidup pada abad ke-14 pada zaman Majapahit dan kemungkinan selain
bujangga juga merupakan mpu yang paling ternama. Namanya dikenal oleh semua
orang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Prapañca merupakan penulis
Kakawin Nagarakretagama yang termasyhur tersebut.
Diperlukan waktu 614 tahun bagi turunan
orang-orang Majapahit, untuk tidak hanya mendapat gambaran tentang kehidupan di
dalam istana, dimana biasanya para pujangga bercokol di menara gadingnya,
melainkan sebuah desawarnana(deskripsi mengenai desa-desa). Prapanca tidak
mendapatkan kebenaran itu dengan gratis, ia harus memisahkan diri dari
rombongan Hayam Wuruk, dalam perjalanan keliling tahun 1359, untuk melihat
kenyataan lain, yang tidak semua penulis masa itu berani melakukan, apalagi
menuliskannya.
Nagarakertagama, satu-satunya sumber tiada
tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang
berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan sastra, tapi juga
kemapanan politik. Dalam analisisnya Slamet Mulyana
mengungkapkan, meski naskah itu merupakan sebuah pujasastra kepada Dyah Hayam
Wuruk Sri Rajasanagara, namun paham politik Prapanca sebenarnya tidak sejajar
dengan Gajah Mada, yang telah menjadi pedoman semenjak pemerintahan Tribuwana
Tunggadewi.
Penciptaan karya sastra ini sebagai tanda
bakti kepada Prabu Hayam Wuruk walaupun dalam menulis kitab Nagarakretagama
Empu Prapanca sudah tidak tinggal lagi didalam keraton Majapahit. Empu Prapanca tidak lagi
menjabat sebagai Dharmmadyaksa Kasagotan (Pembesar urusan agama Buddha) tetapi
hidup di desa Kamalasana di lereng gunung sebagai pertapa. Empu Prapanca
meninggalkan keraton Majapahit karena mendapat hinaan berupa celaan terhadap
sikap Empu Prapanca oleh Sri Baginda yang menyebabkan kedudukannya tergeser
sebagai Dharmmadyaksa Kasagotan.
Prabu Hayam Wuruk percaya kepada fitnah
seorang bangsawan terhadap dirinya. Namun demikian empu Prapanca sama sekali
tidak menaruh dendam terhadap sang Prabu bahkan memuja keagungan Prabu Hayam
Wuruk. Konon ketika Raja Lasem berkuasa di Lombok naskah itu dibawa dari Bali
ke Lombok. Atas dasar tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Emu Prapanca
setelah meninggalkan Majapahit menetap di desa Karangasem Bali.
Desa kamalasana tempat Empu Prapanca bertapa
adalah nama sansekerta dari nama asli Karangasem. Pada pertengahan tahun 1978
di desa Karangasem Bali ditemukan naskah Dcsawarnnana yaitu karya sastra
karangan Empu Prapanca yang sekarang disimpan di Griya Pidada Karangasem Bali.
Tiga naskah lagi yang menyebutkan Kitab
Nagarakretagama ditemukan di Griya Pidada Kelungkung, dan Griya Carik Sidemen.
Naskah ini ini sama dengan Kitab Nagarakretagama yang ditemukan di Puri
Cakranegara Lombok. Decawarnnana yang menguraikan tentang desa desa yang
dikunjunginya dalam perjalanan mengiringi Prabu Hayam Wuruk kemudian Saka Abda,
Lambang, Parwa Sagara, Bhismasaranantya dan Sagataparwa.
Dari pupuh 17/8 diketahui bahwa Empu Prapanca
adalah keturunan seorang Dharmadyaksa (Pemimpin kegamaan) pada jaman
pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Empu Prapanca menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai Dharmadyaksa (pemimpin agama Buddha) tahun 1358 sampai tahun 1361
masehi. Sejak kecil Empu Prapanca suka menghadap Raja dengan maksud agar Raja
mengijinkannya untuk mengikuti perjalanan beliau kemana saja karena
keinginannya untuk merangkai sejarah wilayah Negara dalam kekawin.
Nama Prapanca adalah nama samaran. Prapanca
terdiri dari unsur Pra dan Panca yang artinya pra lima yaitu Prapanca,
Pracacab, Prapongpong, Pracacad dan pracongcong yaitu cacad badaniah
pengarangnya yaitu jika tertawa terbahak bahak, pipinya sembab, matanya
mengeluyu seperti orang ngantuk, cakapnya agak ganjil alias lucu.Nama prapañca
kemungkinan merupakan nama pena dan artinya adalah "bingung.
Nama aslinya Rangkwi Padelengan Dang Acarya
Nadendra yang menjabat sebagai Dharmadyaksa Kasogatan pada pemerintahan Prabu
Hayam wuruk seperti tercantum dalam Piagam Trawulan dan Piagam sekar. Penggunaan nama samaran
Prapanca yang berarti kesedihan dipakai karena pada waktu menulis
Nagarakretagama pengarangnya hidupnya sedang diliputi oleh kesedihan karena
kehilangan kedudukan sebagai Dharmmadyaksa Kasogatan dan pergi meninggalkan
Majapahit untuk hidup di desa dalam kesepian. Ia takut dikenal orang karena
ciri-cirinya sehingga sehingga menggunakan nama samaran.
Kitab Nagarakretagama yang ditulisnya pada
tahun saka 1287 (September-Oktober 1365) menguraikan tentang perjalanan
keliling Prabu hayam Wuruk ke lumajang pada tahun saka 1281 atau 1359 Masehi
dimana Empu Prapanca ikut serta dalam rombongan tersebut sebagai Dharmmadyaksa
Kasagotan.
ISI KAKAWIN NAGARAKRETAGAMA
PUPUH I
1. Om ! Sembah pujiku orang
hina ke bawah telapak kaki Pelindung jagat Siwa-Buda Janma-Batara senantiasa
tenang tenggelam dalam Samadi Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja
adiraja dunia Dewa-Batara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas
tanah.
2. Merata serta meresapi
segala mahluk, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila,
hartawan bagai Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta
birahi, Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin dunia.
3. Begitulah pujian pujangga
penggubah sejarah raja, Kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Milwatikta yang
sedang memegang tampuk negara, bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka
rakyat semua, tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
4. Tahun Saka masa memanah
surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati, selama dalam kandungan di
Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran, gempa bumi, kepul asap, hujan abu,
guruh halilintar menyambar-nyambar, Gunung Kampud gemuruh membunuh durjana,
penjahat musnah dari negara.
5. Itulah tanda bahwa Batara
Girinata menjelma bagai raja besar, terbukti, selama bertahta, seluruh tanah
Jawa tunduk menadah p'rintah, wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta
sempurna dalam pengabdian, durjana berhenti berbuat jahat, takut akan
keberanian Sri Nata.
Pupuh II
1. Sang Sri Rajapatni yang
ternama adalah nenekanda Sri Baginda, seperti titisan Parama Bagawati memayungi
jagat raya, selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda, tahun Saka
dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budaloka.
2. Ketika Sri Rajapatni pulang
ke Jinapada, dunia berkabung, kembali gembira bersembah bakti semenjak Baginda
mendaki tahta, girang ibunda Tribuwana Wijayatunggadewi mengemban tahta, bagai
rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendra-putera.
Pupuh III
1. Beliau bersembah bakti
kepada ibunda Sri Rajapatni, setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah
mangkat, ayahanda Baginda Raja yalah Sri Kertawardana-raja, keduanya teguh
beriman Buda demi perdamaian praja.
2. Ayahnya Sri Baginda-raja
bersemayam di Singasari, bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama,
teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara, mahir mengemudikan
perdata, bijak dalam segala kerja.
Pupuh IV
1. Puteri Rajadewi Maharajasa,
ternama rupawan, bertahta di Daha, cantik tak bertara, bersandar nam guna,
adalah bibi Baginda, adik maharani di Jiwana, Rani Daha dan Rani Jiwana bagai
bidadari kembar.
2. Laki sang rani Sri
Wijayarajasa dari negeri Wengker, rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai
sarjana, setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama, sangat mashurlah
nama beliau di seluruh tanah Jawa.
Pupuh V
1. Adinda Baginda raja di
Wilwatikta, puteri jelita bersemayam di Lasem, puteri jelita Daha, cantik
ternama, Indudewi puteri Wijayarajasa.
2. Dan lagi puteri bungsu
Kertawardana, bertahta di Pajang, cantik tidak bertara, puteri Sri Narapati
Jiwana yang mashur, terkenal sebagai adinda Sri Baginda.
Pupuh VI
1. Telah dinobatkan sebagai
raja tepat menurut rencana, laki tangkas Rani Lasem bagai raja daerah Matahun,
bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya, Raja dan Rani
terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
2. Sri Singawardana, rupawan,
bagus, muda, sopan dan perwira, bergelar raja Paguhan, beliaulah suami Rani
Pajang, mulia perkawinannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida, bakti kepada
raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
3. Bhre Lasem menurunkan
puteri jelita Nagarawardani, bersemayam sebagai permaisuri pangeran Wirabumi,
Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana, bagaikan titisan Hyang
Kumara, wakil utama Sri Narendra.
4. Puteri bungsu Rani Pajang
mem'rintah daerah Pawanuhan, berjuluk Surawardani masih muda indah laksana
gambar, para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara, dan Wilwatikta
tempat mereka bersama menghamba Sri Nata.
Pupuh VII
1. Melambung kidung merdu
pujian sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh, bagai matahari menghembus
kabut, menghimpun negara di dalam kuasa, girang janma utama bagai bunga
tunjung, musnah durjana bagai kumuda, dari semua desa di wilayah negara pajak
mengalir bagai air.
2. Raja menghapus duka si
murba sebagai Satamanyu menghujani bumi, menghukum penjahat bagai Dewa Yana,
menimbun harta bagaikan Waruna, para telik masuk menembus segala tempat laksana
Hyang Batara Bayu, menjaga Pura sebagai Dewi Pertiwi, rupanya bagus seperti
bulan.
3. Seolah-olah Sang Hyang Kama
menjelma, tertarik oleh keindahan Pura, semua para puteri dan istri sibiran
dahi Sri Ratih, namun Sang Permaisuri keturunan Wijayarajasa tetap paling
cantik, paling jelita bagaikan susumna, memang pantas jadi imbangan Baginda.
4. Berputeralah beliau puteri
mahkota Kusumawardhani, sangat cantik, sangat rupawan jelita mata, lengkung
lampai, bersemayam di Kabalan, sang menantu Sri Wikramawardhana memegang
perdata seluruh negara, sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan
pandang.
Pupuh VIII
1. Tersebut keajaiban kota :
tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari Pura, pintu Barat bernama Pura Waktra,
menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit, pohon brahmastana berkaki bodi,
berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam, di situlah tempat tunggu para
tanda terus menerus meronda, jaga paseban.
2. Di sebelah Utara bertegak
gapura permai dengan pintu besi penuh berukir, di sebelah Timur : panggung
luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat, di bagian Utara, di
Selatan pekan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah, di Selatan jalan
perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
3. Balai agung Manguntur
dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan yang meluas ke empat
arah; bagian Utara paseban pujangga dan menteri, bagian Timur paseban pendeta
Siwa-Buda, yang bertugas membahas upacara pada masa grehana bulan Palguna demi
keselamatan seluruh dunia.
4. Di sebelah Timur pahoman
berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa, di sebelah tempat tinggal wipra
utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban, bertegak di halaman
sebelah Barat ; di Utara tempat Buda bersusun tiga, puncaknya penuh berukir,
berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
5. Di dalam, sebelah Selatan
Manguntur tersekat pintu, itulah paseban, rumah bagus berjajar mengapit jalan
ke Barat, di sela tanjung berbunga lebat, agak jauh di sebelah Barat Daya :
panggung tempat berkeliaran para perwira, tepat di tengah-tengah halaman
bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
6. Di dalam, di Selatan ada
lagi paseban memanjang ke pintu keluar Pura yang kedua, dibuat bertingkat
tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri, semua balai bertulang
kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela, para prajurit silih berganti,
bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Pupuh IX
1. Inilah para penghadap :
pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Janggala-Kediri,
Panglarang, Rajadewi tanpa upama, Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira
Jayengprang Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak
lagi.
2. Begini keindahan lapang
watangan, luas bagaikan tak berbatas, menteri, bangsawan, pembantu raja di
Jawa, di deret paling muka, Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di
deret yang kedua, di sebelah Utara pintu istana, di Selatan satria dan
pujangga.
3. Di bagian Barat, beberapa
balai memanjang sampai mercudesa, penuh sesak pegawai dan pembantu serta para
perwira penjaga ; di bagian Selatan agak jauh : beberapa ruang, mandapa dan
balai tempat tinggal abdi Sri Narapati di Paguhan, bertugas menghadap.
4. Masuk pintu ke dua,
terbentang halaman istana berseri-seri, rata dan luas, dengan rumah indah
berisi kursi-kursi berhias ; di sebelah Timur menjulang rumah tinggi berhias
lambang kerajaan, itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.
Pupuh X
1. Inilah pembesar yang sering
menghadap di balai Witana, Wredamentri, tanda menteri pasangguhan dengan
pengiring, Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga,
Tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
2. Semua patih, demung negara
bawahan dan pengalasan, semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh,
jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara., lima menteri utama yang
mengawal urusan negara.
3. Satria, pendeta, pujangga,
para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana,
begitu juga dua dharmadyaksa dan tujuh pembantunya, bergelar arya, tangkas
tingkahnya, pantas menjadi teladan.
Pupuh XI
1. Itulah penghadap balai
witana, tempat takhta yang terhias serba bergas, pantangan masuk ke dalam
Istana Timur, agak jauh dari pintu pertama, ke Istana Selatan tempat
Singawardana, permaisuri, putra dan putrinya, ke Istana Utara tempat
Kertawardana ; ketiganya bagai kahyangan.
2. Semua rumah bertiang kuat,
berukir indah, dibuat berwarna-warni, kakinya dari batumerah pating berunjul,
bergambar aneka lukisan, genting atapnya bersemarak serba meresap pandang
menarik perhatian, bunga tanjung, kesara, cempaka dan lain-lainnya terpencar di
halaman.
Pupuh XII
1. Teratur rapi semua
perumahan sepanjang tepi benteng, Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa
Hyang Brahmaraja, Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka, Barat
tempat Arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
2. Di Timur tersekat lapangan,
menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan Rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci,
berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem, tak jauh di sebelah
Selatan Raja Wilwatikta.
3. Di sebelah Utara pasar,
rumah besar bagus lagi tinggi, di situ menetap patih Daha, adinda Baginda di
Wengker Bhatara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, cinta taat
kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
4. Di Timur Laut rumah patih
Wilwatikta, bernama Gajah Mada, menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada
negara, fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, tangan
kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
5. Sebelah Selatan Puri,
gedung kejaksaan tinggi bagus ; sebelah Timur perumahan Siwa, sebelah Barat
Buda ; terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, perbedaan ragam
pelbagai rumah menambah indahnya pura.
6. Semua rumah memancarkan
sinar warnanya gilang cemerlang, menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama
; negara-negara di Nusantara, dengan Daha bagai pemuka, tunduk menengadah,
berlindung di bawah Wilwatikta.
Pupuh XIII
1. Terperinci demi pulau
negara bawahan, paling dulu M'layu, Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, pun
ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan
Pane, Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang.
2. Lwas dengan Samudra serta
Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, itulah negara-negara Melayu yang t'lah
tunduk, negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota
Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.
Pupuh XIV
1. Kadandangan, Landa Samadang
dan Tirem tak terlupakan, Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga
Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang
terpenting di pulau Tanjungpura.
2. Di Hujung Mendini Pahang
yang disebut paling dahulu, berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta
Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai,
Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
3. Di sebelah Timur Jawa
seperti yang berikut : Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah,
Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran,
Hutan Kendali sekaligus.
4. Pulau Gurun yang biasa
disebut Lombok Merah, dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya,
Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, sampai Udamakatraya dan pulau
lain-lainnya tunduk.
5. Tersebut pula pulau-pulau
Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, lagi
pula Wanda(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi
pulau-pulau lain.
Pupuh VX
1. Inilah nama negara asing
yang mempunyai hubungan, Siam dengan Ayudyapura, begitupun Darmanagari,
Marutma, Rajapura, begitu juga Singanagari, Campa, Kamboja dan Yawana yalah
negara sahabat.
2. Tentang pulau Madura, tidak
dipandang negara asing, karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, konon
tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun
tidak sangat jauh.
3. Semenjak Nusantara menadah
perintah Sri Baginda, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti,
terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan, pujangga dan pegawai diperintah
menarik upeti.
Pupuh XVI
1. Pujangga-pujangga yang lama
berkunjung di nusantara, dilarang mengabaikan urusan negara, mengejar untung ;
seyogyanya jika mengemban perintah ke mana juga menegakkan agama Siwa, menolak
ajaran sesat.
2. Konon kabarnya para pendeta
penganut Sang Sugata, dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata,
dilarang menginjak tanah sebelah Barat pulau Jawa, karena penghuninya bukan
penganut ajaran Buda.
3. Tanah sebelah Timur Jawa
terutama Gurun, Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan, bahkan
menurut kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah
teguh.
4. Para pendeta yang mendapat
perintah untuk bekerja, dikirim ke Timur ke Barat, dimana mereka sempat
melakukan persajian seperti perintah Sri Nata ; resap terpandang mata jika
mereka sedang mengajar.
5. Semua negara yang tunduk
setia menganut perintah, dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa ; tapi
yang membangkang, melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang
telah mashur lagi berjasa.
Pupuh XVII
1. Telah tegak kuasa Sri Nata
di Jawa dan wilayah nusantara, di Sripalatikta tempat beliau bersemayam
menggerakkan roda dunia, tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas girang
dan lega ; wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur.
2. Sungguh besar kuasa dan
jasa beliau, raja agung wilayah Janggala Kediri ;raja agung dan raja utama ;
lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala kenikmatan, terpilih semua
gadis manis di seluruh wilayah Janggala Kediri, berkumpul di istana bersama yang
terampas dari negara tetangga.
3. Segenap tanah Jawa bagaikan
satu kota di bawah kuasa Baginda ; ribuan orang berkunjung laksana bilangan
tentara yang mengepung pura ; semua pulau laksana daerah pedusunan tempat
menimbun bahan makanan ; gununga dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas
tak berbahaya.
4. Tiap bulan sehabis musim
hujan beliau biasa pesiar keliling, desa Sima di sebelah Selatan Jalagiri, di
sebelah Timur Pura, ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara
prasetyan, girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi
lima.
5. Atau pergilah beliau
bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, biasanya terus menuju Blitar, Jimur
mengunjungi gunung-gunung permai, di Daha terutama di Polaman, ke Kuwu dan
Lingga hingga desa Bangin, jika sampai di Jenggala singgah di Surabaya terus
menuju Buwun.
6. Tahun Aksatisurya (1275)
sang prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring ; tahun Saka
angga-naga-aryama (1276) ke Lasem, melintasi pantai samudra ; tahun Saka
pintu-gunung-mendengar-indu (1279) ke laut selatan menembus hutan, lega
menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman.
7. Tahun Saka
seekor-naga-menelan bulan (1281) di Badrapada bulan tambah ; Sri Nata pesiar
keliling seluruh negara menuju kota Lumajang, naik kereta diiring semua raja
Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para
pembesar ikut serta.
8. Juga yang menyamar Prapanca
girang turut mengiring paduka Maharaja ; tak tersangkal girang sang kawi,
putera pujangga, juga pencinta kakawin ; dipilih Sri Baginda sebagai pembesar
keBudaan mengganti sang ayah ; semua pendeta Buda umerak membicarakan tingkah
lakunya dulu.
9. Tingkah sang kawi waktu
muda menghadap raja, berkata berdamping, tak lain maksudnya mengambil hati,
agar disuruh ikut beliau kemana juga ; namun belum mampu menikmati alam,
membinanya, mengolah dan menggubah karya kakawin ; begitu warna desa sepanjang
marga terkarang berturut.
10. Mula-mula melalui Japan
dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah, sebelah Timur Tebu hutan Pandawa,
Daluwang, Bebala di dekat Kanci ; Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkaja
memanjang bersambung-sambungan ; Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu
Hanyar letaknya di tepi jalan.
11. Habis berkunjung pada candi
makam Pancasara menginap di Kapulungan ; selanjutnya sang kawi bermalam di
Waru, di Hering tidak jauh dari pantai, yang mengikuti ketetapan hukum jadi
milik kepala asrama Saraya ; tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu
termenung-menung menunggu.
Pupuh XVIII
1. Seberangkat Sri Nata dari
Kapulungan berdesak abdi berarak, sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya
duduk berimpit-impit, pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit
berjalan kaki, berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
2. Tak terhingga jumlah
kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya, meleret berkelompok-kelompok, karena
tiap ment'ri lain lambangnya, rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang
kerajaan, keretanya beberapa ratus, berkelompok dengan aneka tanda.
3. Segala kereta Sri Nata
Pajang semua bergambar matahari, semua kereta Sri Nata Lasem bergambar
cemerlang banteng putih, kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma mas
mengkilat, kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
4. Kereta Sri Nata Wilwatikta
tak ternilai, bergambar buah maja, beratap kain geringsing, berhias lukisan
mas, bersinar merah indah, semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri
Sudewi, ringkasnya para wanita berkereta merah, berjalan paling muka.
5. Kereta Sri Nata berhias mas
dan ratna manikam paling belakang, jempana-jempana lainnya bercadar beledu,
meluap gemerlap, rapat rampak prajurit pengiring Janggala Kediri, Panglarang,
Sedah, bhayangkari gem'ruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda.
6. Pagi-pagi telah tiba di
Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat, Sang rakawi menyidat jalan, menuju
Sawungan mengunjungi akrab, larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri
Baginda lalu, ke arah Timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung.
7. Dukuh sepi kebudaan dekat
tepi jalan, pohonnya jarang-jarang,, berbeda-beda namanya, Gelanggang, Badung,
tidak jauh dari Barungbung, tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh taat kepada
Yanatraya, puas sang dharmadhyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
8. Sampai di Kulur, Batang di
Gangan Asem perjalanan Sri Baginda Nata, hari mulai teduh, surya terbenam,
telah gelap pukul tujuh malam, baginda memberi perintah memasang tenda di
tengah-tengah sawah, sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat.
Pupuh XIX
1. Paginya berangkat lagi
menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam, dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa,
Rame, menuju Lampes Times, serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir
lemak-lembut, menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
2. Tersebut dukuh kasogatan
Madakaripura dengan pemandangan indah, tanahnya anugerah Sri Baginda kepada
Gajah Mada, teratur rapi, di situlah Baginda menempati pesanggrahan yang
terhias bergas, sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi
bakti.
Pupuh XX
1. Sampai di desa kasogatan
Baginda dijamu makan minum, pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya,
Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, WePeteng,
yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
2. Begitu pula desa Tinggilis,
Pabayeman ikut berkumpul, termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa
perdikan, itulah empat belas desa kasogatan yang berakuwu, sejak dahulu delapan
saja yang menghasilkan makanan.
Pupuh XXI
1. Fajar menyingsing ; berangkat
lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan
Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran Kereta berjalan cepat-cepat
menuju Pawiyungan
2. Menuruni lurah, melintasi
sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan Langsung ke
Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang Sampai di Kemirahan yang letaknya di
pantai lautan
Pupuh XXII
1. Di Dampar dan Patunjungan
Sri Baginda bercengkerama menyisir tepi lautan Ke jurusan Timut, turut pasisir
datar, lembut-limbur dilintas kereta Berhenti beliau di tepi danau penuh
teratai, tunjung sedang berbunga Asyik memandang udang berenang dalam air tenang
memperlihatkan dasarnya
2. Terlangkahi keindahan air
telaga yang lambai-melambai dengan lautan Danau ditinggalkan, menuju Wedi dan
Guntur tersembunyi di tepi jalan Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwija
sejak dulu kala Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke
asrama
3. Terlintas tempat tersebut,
ke Timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan Berhenti di Palumbon berburu
sebentar, berangkat setelah surya larut Menyeberangi sungai Rabutlawang yang
kebetulan airnya sedang surut Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu
bermalam lagi
4. Pada waktu fajar
menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam Malam berganti malam,
Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan Sepeninggalnya beliau menjelang kota
Bacok bersenang-senang di pantai Heran memandang karang tersiram riak gelombang
berpancar seperti hujan
5. Tapi sang rakawi tidak ikut
berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan Dari Sadeng ke Utara menjelang
Balung, terus menuju Tumbu dan Habet Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes
seraya menanti Baginda Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke
Jayakreta-Wanagriya
Pupuh XXIII
1. Melalui Doni Bontong,
Puruhan, Bacek Pakisaji, Padangan terus ke Secang Terlintas Jati Gumelar,
Silabango Ke Utara ke Dewa Rame dan Dukun.
2. Lalu berangkat lagi ke Pakembangan
Di situ bermalam ; segera berangkat Sampailah beliau ke ujung lurah Daya Yang
segera dituruni sampai jurang.
3. Dari pantai ke Utara
sepanjang jalan Sangat sempit, sukar amat dijalani Lumutnya licin akibat kena
hujan Banyak kereta rusak sebab berlanggar.
Pupuh XXIV
1. Terlalu lancar lari kereta
melintas Palayangan Dan Bangkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana,
mereka yang merasa lelah ingin berehat Lainnya bergegas berebut jalan menuju
Surabasa
2. Terpalang matahari terbenam
berhenti di padang lalang Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan
Perjalanan membelok ke Utara melintas Turayan Beramai-ramai lekas-lekas ingin
mencapai Patukangan
Pupuh XXV
1. Panjang lamun dikisahkan
kelakukan para mentri dan abdi Beramai-ramai Baginda telah sampai di desa
Patukangan Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di Barat Talakrep Sebelah
Utara Pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata
2. Semua menteri, mancanegara
hadir di Pakuwuan Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap Para
Upapatti yang tanpa cela, para pembesar agama Panji Siwa dan Panji Budha, faham
hukum dan putus sastera
Pupuh XXVI
1. Sang adipati Suradikara
memimpin upacara dan sambutan Diikuti segenap penduduk daerah wilayah
Patukangan Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang
rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan
2. Untuk pemandangan ada rumah
dari ujung memanjang ke lautan Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh
bagai pulau Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak Itulah
buatan Sang Arya bagai persiapan menyambut raja.
Pupuh XXVII
1. Untuk mengurangi sumuk
akibat teriknya matahari Baginda mendekati permaisuri seperti dewa-dewi Para
puteri laksana apsari turun dari kahyangan
2. Hilangnya keganjilan
berganti pandang penuh heran-cengang Berbagai-bagai permainan diadakan demi
kesukaan
3. Berbuat segala apa yang
membuat gembura penduduk Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum
Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Pupuh XXVIII
1. Selama kunjungan di desa
Patukangan Para menteri dari Bali dan Madura Dari Balumbung, kepercayaan
Baginda Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul
2. Persembahan bulu bekti
bertumpah-limpah Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing
3. Bahan kain yang diterima
bertumpuk timbun Para penonton tercengang-cengang, memandang
4. Tersebut keesokan hari
pagi-pagi Baginda keluar di tengah-tengah rakyat Diiringi para kawi serta
pujangga Menabur harta, membuat gembira rakyat
Pupuh XXIX
1. Hanya pujangga yang
menyamar Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji
Kertayasa Teman bersuka-ria, teman karib dalam upacara ‘gama
2. Beliau dipanggil pulang,
sedang mulai menggubah karya megah Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku
kemana juga
3. Beliau tahu tempat-tempat
mana yang layak pantas dilihat Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya
megah indah
4. Namun mangkatlah beliau,
ketika aku tiba, tak terduga Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa
Keta Meliwati Tal Tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dan Bungatan Sampai Toya
Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam Paginya berangkat ke Lemah
Abang, segera tiba di Keta
Perpustakaan Nasional RI, pada tanggal 21
Pebruari 2008 mendapatkan penghargaan dari UNESCO tentang koleksi Nagara Kretagama
atau deskripsi suatu negara pada tahun 1365 masehi, yang terdaftar dalam The
Memory of the World Regional Register for Asia/Pacific.
Dengan adanya penghargaan tersebut kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga atas kejayaan para leluhur.
Dengan adanya penghargaan tersebut kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga atas kejayaan para leluhur.
EmoticonEmoticon