Murijun (lahir 26 November 1958; umur 58 tahun)
merupakan seorang engraver Indonesia.
Ia mulai bekerja di Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum
Peruri) tahun 1979 saat ia masih kuliah tingkat akhir di Sekolah Seni Rupa
Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Saat itu Peruri sedang mencari calon engraver atau
pengukir gambar yang memang diperlukan dalam proses pembuatan uang kertas.
Engrav merupakan proses pegamanan paling tinggi dalam pembuatan uang kertas.
Mujirun disiapkan sebagai tenaga muda untuk mendampingi senior engraver di
Peruri yang bernama Pak Sajirun. Kebetulan juga kedua engraver tersebut punya
nama yang mirip. Sejak Sekolah Dasar, Mujirun memang sudah belajar melukis di
sanggar lukisan yang diasuh langsung oleh Pak Murtoyo (alm) di Beji,
Yogyakarta. Saat kelas 4 SD ia bahkan sudah mulai menjual karya seninya berupa
wayang untuk sekedar mendapat uang jajan. Mujirun tertarik pada tawaran Peruri
karena perusahaan tersebut menjanjikan akan menyekolahkannya ke luar negeri.
Terlebih lagi gaji yang akan terima cukup memuaskan yaitu Rp50.000 per bulan.
Sedangkan upah rata-rata kabupaten pada era 1970-an hanya Rp19.000 sebulan.
Mujirun pun kemudian hijrah ke ibu kota. Tapi, beliau tak bisa langsung
mengaplikasikan karyanya di Peruri. Ia harus menjalani pendidikan seni lagi.
Bahkan hingga ke luar negeri. Mujirun berkesempatan untuk menempuh pendidikan
di Swiss, Italia, Inggris, Hongaria dan Malaysia. Selain itu, selama dua tahun beliau
belajar engrave di kantor dengan instruktur lulusan Belanda. Juga berkesempatan
belajar di ISI serta ITB guna memperdalam teknik engraving pada uang kertas.
Sepulang dari Italia, suami Siti Julaeha itu tak langsung mendapatkan
kepercayaan membuat gambar-gambar di uang kertas. Kesempatan tersebut baru
datang tiga tahun kemudian. Dia dipercaya untuk menggambar sosok pahlawan Teuku
Umar yang digunakan pada uang kertas Rp5 ribu. Menurut Mujirun, selama ini
pembuatan gambar uang itu dilakukan dengan proses seleksi yang ketat. Lima
engraver Peruri diminta untuk menggambar secara manual dengan teknik pen
drawing. Gambar-gambar tersebut kemudian diserahkan ke pimpinan BI. Begitu
gambar disetujui, seniman yang membuat baru bisa mengerjakannya. Yang
dikerjakan Pak Mujirun bukan pekerjaan mudah dan remeh. Engrave pada mata uang
adalah salah satu pengaman mata uang, sehingga perlu dibuat serumit mungkin
namun tetap menghasilkan gambar yang realistis. Proses kerja Pak Mujirun adalah
menggambar diatas plat baja, kemudian ia mengukir gambar mata uang tersebut di
atasnya. Pak Mujirun harus melakukannya secara perlahan, garis demi garis,
teliti dan tidak ada kesalahan. Pelukis dengan teknik pena yang pernah melukis
13 uang kertas Indonesia ini menggunakan pisau baja dan alat ukir khusus
berujung mirip huruf V serta alat pembesar gambar di uang kertas. Sedangkan
untuk ukuran besar, beliau biasa menggunakan pena Rotring. Komposisi gambar
seperti gelap terang, bayangan, hingga dimensi, dibedakan dengan ukiran garis
pada pelat baja. Proses ini tidak boleh salah sedikit pun. Jika terjadi
kesalahan, master cetakan akan rusak dan Pak Mujirun harus mengulang proses
engrave dari awal.
Teknik engrave termasuk rumit; menggambar menggunakan pisau
dengan teknik cukil. Sepintas mirip teknik mengukir. Namun, teknik engrave
lebih sulit karena diaplikasikan di media yang kecil dengan skala satu banding
satu. Bisa dibayangkan tingkat ketelitian dan presisi hasil kerja Pak Mujirun.
Mengenai waktu pengerjaan uang kertas, beliau menghabiskan waktu 3 hingga 4
bulan, sedangkan untuk ukuran besar adalah 3 hingga 4 minggu. Salah satu karya
Mujirun yang membanggakan adalah gambar uang seri “Pak Harto Mesem”. Sebab
pembuatannya tidak hanya bersaing dengan engraver dari Peruri. Karyanya harus
diadu dengan engraver dari luar negeri. Gambar sketsa wajah Pak Harto karya
beliau dan karya engraver dari Australia terpilih untuk diserahkan ke Setneg
(Sekretariat Negara) untuk dipilih salah satunya.Tanpa diduga, pihak Istana Negara menjatuhkan pilihan pada karya
Mujirun. Gambar “Pak Harto Mesem” itulah yang kemudian menghiasi uang Rp50.000
yang diterbitkan pada tahun 1995. Selain itu, ada beberapa karya Mujirun lain
yang cukup fenomenal. Di antaranya, gambar pahlawan Sisingamangaraja XII di
uang Rp1.000 (keluaran 1987), gambar rusa Cervus timorensis untuk uang Rp500
(1988), gambar anak Gunung Krakatau untuk uang Rp100 (1991), gambar Gunung
Kelimutu untuk uang Rp5.000 (1991), Ki Hajar Dewantoro di uang kertas Rp20 ribu
(1998), Paskibraka di uang Rp50 ribu (1999), gambar Kapitan Pattimura pada uang
kertas Rp1.000, gambar Pulau Maitara dan Tidore Rp1.000, serta Tuanku Imam
Bonjol Rp5.000 (ketiganya keluaran 2001). Mujirun juga lah yang membuat gambar pahlawan Oto Iskandar Di
Nata pada uang kertas Rp20.000 yang dikeluarkan pada tahun 2004. Sebelum
pensiun, pria 55 tahun itu membuat gambar I Gusti Ngurah Rai untuk uang pecahan
Rp50 ribu keluaran 2009. Jika diperhatikan, sangat terlihat dari hasil karyanya
di uang pecahan kertas tersebut, bagaimana detail dan presisinya gambar wajah
tokoh-tokoh di uang pecahan itu. Pak Mujirun membeberkan rahasianya, berlatih
menggambar menurutnya melatih kepekaan rasa. Itulah kunci sukses Pak Mujirun,
dengan terus berlatih dan mengolah rasa. Semua gambar yang ia
buat merupakan kumpulan arsiran garis yang kemudian bersatu membentuk gambar
utuh. Pak Mujirun mencontohkan, ketika dia hendak membuat mata, dia membuat
lingkaran dahulu sebagai pola awal. Kemudian dia membuat arsir, garis-garis
kecil untuk membentuk mata, membuat mata tampak berdimensi dan akhirnya
menghasilkan satu gambar mata utuh.
Bergabung di Peruri diakuinya lebih merupakan tempat belajar
yang juga mendapat gaji. Namun ketika usianya mencapai 50 tahun, persisnya pada
tahun 2009, ia mengajukan ikut pensiun dini karena ingin kembali ke dunianya
sendiri dan karena ingin lebih banyak berkarya di rumah. Dulu selain menjadi
engraver, Pak Mujirun juga melukis lepas. Karya-karyanya dihargai tinggi karena
tingkat kerumitan yang tinggi. Contohnya gambar Presiden SBY memiliki nilai
sebesar 25 juta rupiah. Nilai itu wajar karena proses pembuatan lukisan dengan
metode arsir ini butuh waktu lama dan ketelitian tinggi. Untuk 1 potret wajah
seukuran A4, lama pengerjaannya adalah 1 bulan. Pun dengan teknik langka yang
ia miliki, tentunya wajar jika lukisannya dihargai tinggi. Kini, bersama sang
istri tercinta Pak Mujirun tinggal menikmati hasil dari jerih payahnya. Lebih
banyak menghabiskan waktu dengan bekerja di rumah. Untuk menopang hidup di masa
pensiunnya, hasil dari membuat lukisan di rumah telah ia investasikan dalam
bentuk beberapa rumah yang disewakan, ada sawah di Yogyakarta dan Bandung yang
ditanami palawija, 10 rumah petak sehat di Ciledug yang disewakan pada pedagang
bakso, batagor, sate. Juga ada kios di Jl Joglo yang menjual pigura, lukisan,
jasa fotokopi dan menjual pulsa telpon. Beliau mengaku siap seumpama ada klien
dari perusahaan yang membutuhkan jasa engrave-nya. Pak Mujirun dan isteri
dikaruniai 2 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Anak sulungnya mengikuti
jejak ayahnya belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sebagai pelukis beraliran dasar realis, Mujirun juga makin aktif mendapat order
lukisan. Selama sepuluh bulan terakhir saja dia sudah menyelesaikan lebih dari
20 lukisan. Mereka yang memesan lukisan juga beragam, mulai dari pejabat,
pengusaha, pejabat kepolisian bahkan pelajar.
EmoticonEmoticon