Rsi
Markandeya~ Perkembangan
agama Hindu dengan berbagai Tradisi Budaya dan Adat di Bali seperti yang kita
kenal terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. salah satu bagian penting
dari proses adalah masa dharmayatra beberapa pendeta suci baik Hindu maupun
Budha ke pulau ini. Salah satu tonggak sejarah dari perkembangan agama Hindu di
Bali adalah peranan MahaRsi Markandeya yang pertama kali menanam Panca
Datu dan merintis masa sejarah pada abad ke-9. Masa kedatangan beliau
dianggap sebagai tonggak perkenalan masayarakat Bali dengan pengetahuan tentang
keagamaan dan mulai terdapat peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan di bumi
dewata ini. Beliau pulalah yang memperkenalkan sistem irigasi (Subak), sistem
bercocok tanam yang sampai saat ini masih dipertahankan sebagai salah satu
keunikan budaya masyarakat Bali yang tidak dijumpai di daerah lain.Peninggalan
tertulis dari jaman MahaRsi Markandeya ini selain berupa beberapa prasasti
adalah berupa lontar atau Purana, terutama sekali adalah lontar
Markandeya Purana, yang menceritakan tentang asal usul sang MahaRsi dan
perjalanan beliau dalam berdharmayatra. Di lontar ini disebutkan bahwa
MahaRsi Markandeya berasal dari India (kemungkinan dari India Selatan),
melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga
semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang (Pegunungan
Dieng), Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah yang pada saat itu berada dalam
pemerintahan Mataram Kuno (wangsa Sanjaya dan Syailendra).
Kemungkinan
karena bencana alam (gunung meletus), dari Gunung Dieng, Rsi Markandeya
meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di
wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kemungkinan perpindahan beliau
bersamaan dengan pemindahan kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur dan menjadi kerajaan Medang Kemulan yang dengan raja Pu
Sindok sebagai awal dari dinasti Isana. Di Gunung Rawung sang
MahaRsi beserta pengikutnya, sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya
melanjutkan perjalanan ke Bali. Pasraman beliau diyakini berada di tempat
dimana sekarang didirikan Candi Gumuk Kancil di Desa Bumiharjo,
Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi.
Setelah
beberapa saat bemukim di Gunung Rawang, sekarang dikenal sebagai Gunung Raung
(Jawa Timur), Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan perjalanannya
ke timur. Pada masa itu Pulau Bali belum dikenal sesuai namanya sekarang. Pulau
ini masih belum banyak diketahui, sebagian pelaut mengira Pulau Bali merupakan
sebuah pulau yang memanjang yang menyatu dengan apa yang kita kenal sekarang
sebagai Kepulauan Nusa Tenggara. Jadi pada masa itu Pulau Bali dan Kepulauan
Nusa Tenggara dianggap merupakan sebuah pulau yang sangat panjang yang disebut
dalam Markandeya Purana sebagai Nusa Dawa/Pulau Panjang.
Pada
saat kedatangannya yang pertama dengan menyeberang Segara Rupek (selat
Bali) Rsi Markandeya setelah tiba di Bali, misi beliau mengalami kegagalan
dimana sebagian besar pengikutnya yang berjumlah sekitar 8,000 orang, mengalami
kematian ataupun sakit secara misterius. Beliau merasakan aura misterius yang
sangat kuat menguasai pulau ini sehingga dia kemudian memutuskan untuk kembali
ke Gunung Raung dan bermeditasi/puja wali untuk meminta petunjuk agar bisa
selamat dalam perjalanan ke Bali berikutnya.
Dalam
kunjungannya yang kedua, berdasarkan hasil dari meditasinya, Rsi Markandeya
beserta pengikutnya sepakat untuk pertama-tama melakukan upacara suci/
Pecaruan/ Ruwatan untuk keselamatan mereka selama berada di Bali. Beliau
memutuskan untuk mengadakan upacara suci tersebut ditempat yang tertinggi di
pulau ini yang juga diyakini sebagai tempat yang paling keramat. Mereka
kemudian mendaki Gunung Agung yang pada saat itu dikenal dengan nama Toh
Langkir. Di kaki gunung itu mereka mengadakan upacara suci yang aktifitas
utamanya berupa penanaman Panca Datu, berupa 5 unsur logam yang dianggap
paling penting pada masa itu (emas, perak, perunggu, tembaga dan kuningan).
Tempat beliau beserta pengikutnya menanam Panca Datu itu kemungkinan
sekali adalah di tempat yang sekarang menjadi Pura Basukihan di areal
Pura Besakih. Pura Basukihan ini adalah pura yang lokasinya tepat di
kaki jalan tangga masuk ke area Pura Penataran Agung Besakih.
Kemungkinan
pada saat berada di ketinggian Toh Langkir (Gunung Agung) tersebut
Rsi Markandeya menyadari bahwa ternyata Pulau Bali hanya pulau kecil sehingga
beliau menganggap bahwa nama Pulau Panjang kurang tepat dan
menggantinya dengan nama Pulau Bali. Kata Bali sendiri berasal dari
bahasa Palawa yang berkembang di India Selatan tempat asal sang
MahaRsi. Bali kurang lebih berarti persembahan, mengingat untuk
mendapatkan keselamatan Rsi Markandeya harus mengaturkan persembahyangan/
upacara suci terlebih dahulu terhadap kekuatan alam semesta dimana kita
beraktivitas. Dalam perkembangan selanjutnya Bali kurang lebih sama artinya
dengan Banten (sarana upacara) pada masa sekarang ini.
Dalam
perkembangan selanjutnya Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di Bali dan
menyebarkan agama Hindu. Di pulau ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan
dan membangun banyak tempat suci, pasraman untuk penyebaran pendidikan agama.
Kedatangan beliau yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan sekitar 4,000
orang Age (wong Age) yang berasal dari daerah sekitar Gunung Raung. Orang Age
ini dikenal terampil dalam tanah untuk budidaya pertanian, rajin dan kuat.
Maharsi Markandeya mengajak pengikutnya orang Age guna diajak merabas hutan dan
membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah itu
dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai
pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa
bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan
Tegallang, Kabupaten Gianyar. Beliau dan pengikutnya kemudian membuka Hutan
Taro dan bermukim di tempat yang sekarang di kenal sebagai Desa Taro (sebelah
Utara Ubud) yang dianggap sebagai desa tertua di Pulau Bali. Di desa tersebut
beliau mendirikan Pura Murwa Bhumi (Murwa kemungkinan sama artinya
dengan mula/ permulaan) sebagai pura pertama di Bali. Selanjutnya beliau
mengembangkan daerah Toh Langkir menjadi areal pura (tempat suci)
yang dianggap sebagai Pura Utama di Bali.
Jika
dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Bali khususnya di daerah Taro,
kemungkinan Pura Murwa Bhumi merupakan tempat pertama oleh Maharsi
Markandeya beryoga, berdharma wacana memberikan pembelajaran bagi para pengikut
menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran dengan
tata cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Beliau mengajarkan masyarakat untuk selalu giat berusaha namun juga senantiasa
mengingat akan kebesaran sang Pencipta. Untuk itu beliau juga mengajarkan umat
agar senantiasa ingat mengaturkan upakara (persembahan) yang di Bali
saat ini dikenal sebagai banten. Ini sebagai upaya menjaga harmonisasi
hubungan masyarakat dengan kekuatan alam semesta. Dalam lontar Bhuwana
Tattwa, disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru
pada tahun Saka 858 di Puwakan. Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai
bentuk upakara sebagai sarana upacara. Mula-mula terbatas kepada para
pengikutnya. Lama-kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro.
Selain
pura Murwa Bhumi dan beberapa pura lainnya di sekitar daerah Kecamatan
Payangan dan Ubud (antara lain Pura Gunung Raung di Desa Taro), pura
lainnya yang erat kaitannya dengan Rsi Markandeya adalah Pura
Silawanayangsari di Gunung Lempuyang, Kabupaten Karangasem. Beliau juga
mendirikan asrama di Pura Silawanayangsari (dikenal juga sebagai Pura
Lempuyang Madya) dan di sini beliau dikenal sebagai Bhatara Hyang Gnijaya.
Pada
saat sekarang ini dimana masyarakat Bali ingin menelusuri silsilah keluarga
mereka, menemukan kawitan mereka, ada sebuah fakta yang membingungkan tentang
tokoh yang disebut sebagai Hyang Gnijaya. Ada disebutkan tentang Bhatara
Gnijaya yang berpasraman di Pura Lempuyang Madya (Pura
Silawanayangsari) yang dianggap merupakan leluhur dari Klan/Warga
Pasek dan menganggap bahwa Pura Lempuyang Madya merupakan kawitan utama
dari warga Pasek.
Sekedar
catatan, banyak yang menafsirkan Bhatara Gnijaya atau yang di Babad
Pasek disebut sebagai Mpu Gnijaya yang menjadi leluhur para warga Pasek
adalah sama dengan MahaRsi Markandeya. Namun bila dilihat dari periode keberadaannya,
tampak jelas bahwa mereka adalah 2 orang yang berbeda. MahaRsi Markandeya
berada di Bali pada sekitar abad ke 9 M, sedangkan Mpu Gnijaya dalam Babad
Pasek adalah salah satu dari 5 pendeta bersaudara yang dikenal sebagai Panca
Tirtha (Panca Pandita) yaitu Mpu Gnijaya. Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu
Kuturan, dan Mpu Bhradah. Bila keberadaan Mpu Kuturan dan Mpu
Bhradah di Bali adalah sekitar abad ke 11 M, maka jelas terlihat bahwa
sosok Mpu Gnijaya disini berbeda dengan MahaRsi Markandeya. Mpu Gnijaya disini
merupakan ayah dari Sapta Rsi yang dianggap sebagai leluhur warga Pasek.
Beliau sebenarnya bermukim di Kuntuliku, Jawa Timur, namun diyakini kemudian
Mpu Gnijaya pindah ke Bali dan menetap di gunung Lempuyang. Pertanyaan lainnya
yang timbul adalah mengenai jati diri tokoh yang pasramannya di Pura Lempuyang
Madya, apakah Mpu Gnijaya versi Babad Pasek ataukah MahaRsi
Markandeya.
Dari
tinjauan sejarah tidak banyak peninggalan tertulis dari Rsi Markandeya baik
selama di Jawa maupun di Bali, selain dari pada lontar Markandeya Purana dan
beberapa lontar lainnya yang berkaitan dengan dharmayatra beliau. Peninggalan
beliau yang sampai sekarang bertahan adalah beberapa pura yang ditujukan untuk
pemujaan terhadap jasa-jasa beliau sebagai seorang Dang Guru yang pertama
kali menyebarkan agama Hindu di Bali dan sistem pengolahan lahan di Bali yang
sangat unik.
EmoticonEmoticon