Mpu
sendok Sang Pendiri Wangsa Isyana
Mpu
Sindok (sering ditulis Mpu Sindok) sebenarnya merupakan kerabat Kerajaan Medang di Bhumi Mataram di Jawa Tengah (lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Dirinya
menjabat sebagai Rakryan Mapatih di Hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah
Wawa (928-929) Masehi. Sebelum masa Rakai Dyah Wawa, Pu Sindok telah
menjabat sebagai Rakryan Mapatih di Halu. Yakni pada masa pemerintahan Rakai
Layang Dyah Tlodhong atau Tulodong (919-?).
Jabatan-jabatan
seperti itu dipastikan hanya boleh diduduki oleh keluarga atau kerabat istana.
Putra mahkota, menantu raja, adik, paman, kemenakan, apa siapa pun asal masih
memiliki hubungan darah dengan raja. Dengan demikian, Mpu Sindok sejak lahir
berdarah bangsawan.
Wangsa
yang didirikan Mpu Sindok disebut Wangsa Isana. Istilah Wangsa Isana tertera
dalam Prasasti Pucangan, prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga pada 963 Saka
(1041 M). Prasasti berbahasa Sansekerta ini dimulai dengan penghormatan
terhadap Brahma, Wisnu, Siwa, kemudian disusul dengan penghormatan
terhadap pribadi Raja Airlangga.
Selanjutnya
dimuat silsilah Raja Airlangga, mulai dari Raja Sri Isanatungga atau MPu Sindok.
Sri Isanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri Lokapala, dan memiliki anak
bernama Sri Makutawangsawarddhana, dan disebut sebagai keturunan Wangsa Isana.
Dengan membaca teks Prasasti Pucangan, dapat diperoleh keterangan bahwa pendiri
Wangsa Isana adalah Mpu Sindok bergelar Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa.
Posisi
Pu Sindok dalam silsilah keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram memang
dipenuhi kontroversi. Poerbatjaraka menilai bahwa MPu Sindok adalah menantu Dyah
Wawa. Berdasarkan pada Prasasti Cunggrang yang menyebut “sang siddha dewata
rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi” (yang telah
diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi. Dengan demikian
Rakryan Bawa diidentifikasikan oleh Poerbatjaraka sebagai Rakai Sumba Dyah
Wawa.
Poerbatjaraka
juga mengemukakan alasan lain, bahwa Pu Sindok bergelar abhiseka yang
mengandung unsur kata dharma. Menurutnya sebagai petunjuk bahwa raja
yang gelarnya seperti itu, mendapat takhta dari perkawinan. Selain itu tertulis
juga nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga dianggap ayah Dyah Kebi.
Akan
tetapi, Stutterheim membantah pendapat Poerbatjaraka dengan mengatakan bahwa;
nama Bawa harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas
huruf /wa/. Lagi pula, Raja Wawa tak pernah bergelar Rakai atau
Rakryan Wawa, melainkan Rakai Sumba atau Rakai Sumba Pangkaja Dyah Wawa. Selain
itu, kata /kbi/ pada prasasti itu harus diartikan “nenek”.
Jadi,
Sutterheim menyimpulkan bahwa yang diperdewakan di Cunggrang tak lain adalah
Rakryan Bawang Pu Partha. Nama itu selalu muncul dalam prasasti-prasati
keluaran Rakai Kayuwangi, ayah dari nenek Pu Sindok. Sementara Nenek Pu Sindok
adalah permaisuri Daksa. Disebut dalam Prasasti Limus (Sugih Manek) bertahun
837 Saka (915 M). Jadi, Pu Sindok adalah cucu Daksa. Dengan begitu, Pu Sindok
memang pewaris sah dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram di Jawa Tengah, tanpa
harus menikah dengan seorang putri raja mana pun.
Maharaja
di Tamwlang
Pada
masa pemerintahan Dyah Wawa, antara 928-29 M, terjadi sebuah bencana besar: meletusnya
Gunung Merapi. Letusan gunung ini membawa malapetaka yang mematikan: gempa
bumi, banjir lahar, hujan abu, dan batu-batuan yang menimpa apa pun di
sekitarnya. Termasuk wilayah Bhumi Mataram yang berada di sebelah barat daya
gunung tersebut. Kerusakan akibat letusan Merapi yang melanda ibukota Medang,
yakni Bhumi Mataram. Kerabat istana dan rakyat yang selamat akhirnya mengungsi
ke wilayah timur.
Ada
pendapat yang menyebutkan bahwa Bhumi Mataram itu terletak di sekitar Magelang
(hingga kini masih terdapat sebuah desa bernama Medangan), Jawa Tengah. Ada
pula yang menduga di sekitar Yogyakarta. Dan ada pula yang menganggap bahwa
wilayah Temanggung, Magelang, Bantul, Sleman, dan Klaten (kelimanya berada di
Magelang dan Yogyakarta) merupakan wilayah kekuasaan Bhumi Mataram.
Di
wilayah timur, ada wilayah Kanuhuruhan yang penguasanya tunduk kepada Bhumi
Mataram. Maka, Pu Sindok pun leluasa membangun ibu kota baru di
Tamwlang, sekarang sekitar Jombang, Jawa Timur. Keterangan tentang
ibu kota di Tamwlang ini terdapat pada Prasasti Turyyan.
Sesuai
pengetahuan kosmogonis pada masa itu, Pu Sindok merasa perlu mendirikan wangsa
baru dengan tempat-tempat pemujaan baru. Karena menilai peristiwa meletusnya
Gunung Merapi sebagai kehancuran dunia (pralaya) pada akhir masa Kaliyuga.
Dalam dunia kosmogonis masyarakat Jawa silam, bila seorang raja hancur oleh
serangan raja lain atau oleh bencana alam, maka periode itu disebutpralaya dan
telah ditentukan oleh Dewa.
Rupanya,
kerajaan baru yang didirikan Pu Sindok tetap bernama Medang di Bhumi Mataram,
seperti yang termaktub dalam Prasasti Paradah yang bertarikh 865 Saka (943 M),
dan Prasasti Anjukladang yang bertahun 859 Saka (937 M). Prasasti Turyyan
bertahun 851 Saka (929 M) memberitakan bahwa ibukota pertama dari Medang versi
Pu Sindok adalah Tamwlang (“sri maharaja makadatwan I tamwlang”).
Di
sini jelas bahwa Mpu Sindok telah mengangkat diri sebagai raja baru yang
berpusat di Tamwlang. Kini, di Kab. Jombang, Jawa Timur, terdapat Desa
Tambelang di wilayah kecamatan Tambelang. Nama desa atau kecamatan itu
kemungkinan besar dulunya bernama Tamwlang. Tak ada data tertulis lain yang
menyebut nama Tamwlang selain prasasti ini. Setelah dari Tamwlang, berdasarkan
Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang, ibukota kerajaan berpindah ke
Watugaluh, masih sekitar Jombang.
Pindah
ke Watugaluh
Prasasti
Anjukladang bertarikh 937 M, menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan
ke wilayah Watugaluh, di tepi Kali Brantas, masih di sekitar Jombang. Kini kita
bisa menemukan sebuah kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh
pun, Mpu Sindok tak berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat
pada Prasasti Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i
Bhumi Mataram di Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah
berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh.
Prasati
Paradah juga mengatakan: “mdang di bhumi mataram di watugaluh.” Maka dari situ
tak berlebihan bila kita menyebut kerajaan dengan ibu kota baru ini dengan
sebutan “Medang di Bhumi Mataram i Watugaluh”. Bisa diartikan sebagai
“Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram (sekarang berada) di Watugaluh”. Atau bisa
juga sebagai kerajaan “Medang di Bhumi Mataram” (dengan ibu kota baru) di
Watugaluh”.
Pembacaan
J.G. de Casparis terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah
ada serbuan dari Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai
dekat Nganjuk, Jawa Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah
komando langsung Mpu Sindok , ketika itu belum menjadi raja. Mungkin
masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi
Mataram.
Atas
jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Mpu Sindok diangkat menjadi raja
(apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?). Namun, teks pada
Prasasti Anjukladang belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang
lebih komplit pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, diterangkan bahwa di
tempat Sang Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu
kemenangan.
Hampir
tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik/militer pada masa Mpu Sindok,
bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Mpu Sindok tidak ada penaklukan atau
peperangan terhadap /dari kerajaan lain. Prasasti Waharu dan Sumbut
memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Mpu Sindok
terhadap kerajaan-kerajaan kecil. Pun, fakta bahwa pusat pemerintahan selalu
berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Mpu Sindok banyak terjadi
penyerang musuh ke dalam ibu kota tersebut.
Wafat
Mpu
Sindok wafat pada 947 M dan didharmakan atau candikan di sang hyang dharma
ring isanabhawana atau Isanabajra, yang hingga kini belum berhasil
ditemukan. Prasasti Pucangan memberitakan, Mpu Sindok digantikan oleh putrinya,
Sri Isana Tunggawijaya. Sri Isana Tunggawijaya ini memerintah bersama suaminya,
Sri Lokapala. Pasangan suami-istri ini kelak memiliki putra bernama Sri
Makutawangsawarddhana.
Ada
satu hal yang menarik bahwa nama Mataram hingga zaman Singhasari dan Majapahit
dan sesudahnya masih dipakai sebagai nama kerajaan-bawahan. Bahkan oleh
Panembahan Senopati pada abad ke-17 pun dijadikan nama kerajaan Islam.
Sedangkan nama Medang sebagai nama daerah kurang begitu popular.
EmoticonEmoticon