Raja Hayam Wuruk
Pada tahun (1350-1389)
Majapahit mencapai masa keemasannya dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk
bergelar Rajasanegara didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Adityawarman dan
Mpu Nala sehingga pada masa tersebut Majapahit, karena daerah kekuasaannya
hampir meliputi seluruh Nusantara. Majapahit berkembang sebagai kerajaan
maritim sekaligus kerajaan agraris.
Hayam Wuruk adalah
putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon
bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti “ayam
yang masih muda”. Hayam Wuruk naik takhta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah
dengan Paduka Sori (Parameswari).Hayam Wuruk mempunyai
dua orang anak yaitu Nagarawardani/ Bhre Lasem yang lahir dari Paduka Sori dan
Bhre Wirabumi yang lahir dari selir. Perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori
yang masih saudara sepupu putri dari Bhre Prameswara yaitu Raja Wijayarajasa
dari Wengker terjadi tahun saka 1279 yaitu setelah kegagalan perkawinannya
dengan Dyah Pitaloka yaitu Putri Raja Linggabuana dari kerajaan Pasundan . Pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, keraton Majapahit diperkirakan telah
dipindahkan ke trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Trowulan adalah
sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di
bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang.
Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya – Surakarta-.Di kecamatan
ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan
Kerajaan Majapahit . Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang
ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah
sumber Tionghoa dari abad ke-15 Masa Pemerintahan Hayam Wuruk.Tahun 1360 Gayatri
wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada
anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya
dengan Kertawardddhana.Hayam Wuruk memerintah dengan gelar
Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya.
Nama nama pejabat
pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam
Bendasari.
1. Mahamentri Katrini
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing
2. Sang Panca Wilwatika
· Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada
· Rakyan Demung : Pu Alus
· Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil
· Rakyan Rangga : Pu Roda
· Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing
2. Sang Panca Wilwatika
· Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada
· Rakyan Demung : Pu Alus
· Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil
· Rakyan Rangga : Pu Roda
· Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata
Dalam Rakryan Mantri ri
Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih
atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri
yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan.
Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya
para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.Majapahit memiliki
struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan
tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama
perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia
memegang otoritas politik tertinggi. Sebagai kepala pemerintahan, raja atau
ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para
anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu,
misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. Sesuai dengan
keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat
oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk
wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis
region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat
dengan sang prabhu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan
and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the
royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga
kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre
Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.
Pejabat pemerintahan
dibawah Raja yaitu Patih Amangkubumi (Patih Seluruh Negara) bertugas memberi
perintah dan arahan tentang jalannya pemerintahan di Negara bawahan atau
daerah. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa para patih Negara bawahan dan
para pembesar lainnya berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Patih
Gajah Mada.
Di bawah raja Majapahit
terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka
biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam
mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di
wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa
pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh
seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Daha oleh Bhre Daha
yaitu Dyah Wijat Sri Rajadewi yang merupakan adik kandung dari Tribhuwana
Tunggadewi ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Wengher oleh Raja Wijayarajasa
Matahun oleh Raja Rajasawardhana
Lasem oleh Bhre Lasem
Pajang oleh Bhre Pajang
Paguhan oleh Raja Singawardhana
Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
Jagaraga
Kabalan
Singhapura
Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan.
Wengher oleh Raja Wijayarajasa
Matahun oleh Raja Rajasawardhana
Lasem oleh Bhre Lasem
Pajang oleh Bhre Pajang
Paguhan oleh Raja Singawardhana
Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
Jagaraga
Kabalan
Singhapura
Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan.
Raja dan Juru
Pengalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab namun dalam pemerintahanya
dikuasakan kepada Patih. Dalam pemerintahan
dipusat segala urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab Patih Amangkubumi
yaitu Gajah Mada, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Lain halnya dengan
pemerintahan di seberang lautan yang merupakan wilayah Majapahit, Raja- Raja
dan pembesar daerah bawahan berdaulat penuh, kewajiban utama daerah bawahan
kepada Majapahit yaitu menyerahkan upeti tahunan dan menghadap Raja pada waktu
yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan
Majapahit. Untuk mengawasi wilayah
Majapahit yang begitu luas maka Majapahit memiliki Armada lautan yang sangat
besar dan ditakuti oleh negara Negara lainnya. Armada ini ditempatkan di Lautan
Teduh (Pasifik) dan dipantai utara pulau Jawa. Dan juga berusaha menjalin
persahabatan dengan negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata
yang berarti sahabat atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara
damai.
Dalam Bilang Ekonomi & Perdagangan Dalam kehidupan
ekonomi, kerajaan Majapahi masih mencerminkan sebagai negara agraris, karena
aspek agraria lebih menonjol dibandingkan perdagangan antar pulau. Pemerintahan
Majapahit selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau
memelihara tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu
juga memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas
perdagangan.
Komoditi perdagangan
Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti
Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena
menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Menurut catatan Wang
Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada,
garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara,
emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat
dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan
Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa
pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan
emas, perak, dan permata.
Daerah-daerah pelabuhan
seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan
karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Di
bidang perdagangan walaupun tidak semenonjol kerajaan Sriwijaya, banyak
pedagang Majapahit berperan sebagai pedagang perantara. Menurut berita dari
Cina, Majapahit telah memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala,
kayu cendana dan gading. Banyak pedagang Cina yang membeli barang-barang
tersebut dari pedagang Majapahit. Majapahit selalu
menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti
Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar
tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke
Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.Hubungan
persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya
bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan
perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan
daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di
pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada,
gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana. Dalam
dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting,
yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara. Dalam Bidang Keagamaan Sebagai kerajaan Hindu terbesar
di Nusantara keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan
dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus
yaitu Dharmadhyaksa kasaiwan yang mengurus agama Syiwa Budha dan Dharmadhyaksa
Kasogatan yang mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan
yang disebut Dharma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Banyaknya pejabat
tersebut menunjukan keompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan
adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan
dengan baik, bahkan tercipta toleransi.
Hal ini seperti apa
yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping
beragama Hindu, Budha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan
rukun. Dari berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah
ada di kerajaan Majapahit. Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga
dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di
dalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”. Dalam Nagarakretagama
pupuh 85 diuraikan bahwa tiap bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama
setiap tahun Raja Hayam Wuruk mengadakan pertemuan dengan para Menteri,
perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala desa dari luar kota untuk
membahas tanggung jawab pemerintahan didaerahnya masing-masing.
Beberapa hasil karya
semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:
· Pemeliharaan
tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungan Solo dan Brantas
· Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)
· Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih
· Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran)
· Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)
· Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)
· Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371
· Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)
· Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih
· Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran)
· Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)
· Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)
· Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371
Wilayah Kekuasaan
Majapahit Jaman Pemerintahan Hayam Wuruk
Di zaman pemerintahan
Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih
Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah,
Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan,
Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar
(Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. Menurut Kakawin
Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir
seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat
dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara
Asia Tenggara. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa
daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan
terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang
mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan
Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim
duta-dutanya ke China.
Daerah-daerah diluar
jawa yang dikuasai Majapahit pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk seperti
diuraikan dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 antara lain :
Di Sumatra : Jambi,
Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe,
Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung.
Di Kalimantan : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei dan malano.
Di Semenanjung Tanah Melayu : Pahang, Langkasuka, Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah dan Jerai.
Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda) Amabon, Wanin, Seram dan Timor.
Setelah menyimak data tersebut, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya.
Di Kalimantan : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei dan malano.
Di Semenanjung Tanah Melayu : Pahang, Langkasuka, Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah dan Jerai.
Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda) Amabon, Wanin, Seram dan Timor.
Setelah menyimak data tersebut, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya.
Gajah Mada, seorang
patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran
ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian
Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang, menaklukkan daerah
terakhir kerajaan Sriwijaya.Beberapa Perostiwa
Penting dalam Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
§ Perang Bubat (1357). Sumber yang bisa dijadikan
rujukan mengenai adanya perang tersebut justru terdapat dalam Kidung Sunda dan
Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab Pararaton dikisahkan
peristiwa Bubat terjadi pada Tahun Saka 1257 atau 1357 tahun Masehi di masa
pemerintahan Hayam Wuruk. Ambisi Gajah Mada untuk
menundukkan Nusantara mencapai hasilnya di masa ini dari mulai Tumasek
(Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram seluruh penguasanya
menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Tetapi di kala semua kerajaan
yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang
sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri, belum menyatakan tunduk.
Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang
berada di sekitar Ciamis), dan Sunda Pakuan yang terletak lebih ke arah barat. Kerajaan Sunda Galuh
saat itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah
timur, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di
sepanjang sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh
berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum. Pandangan Gajah Mada
untuk sesegera mungkin menyatukan kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam
wilayah kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana.
Baik ibu suri Tribhuana Tunggadewi maupun Dyah Wyjat berpendapat bahwa kerajaan
Sunda adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya,
salah satu leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda. Sementara sikap prabu Hayam
Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah
Mada.
Pada suatu waktu
tibalah saatnya bagi prabu Hayam Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang
akan mendampingi dirinya. Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis
putri-putri yang cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga
untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu. Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu,
maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri
yang beruntung tersebut. Sudah sekian banyak
juru gambar yang kembali membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih
belum berkenan menjatuhkan pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru
gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi
yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana. Sementara itu, Gajah Mada
melihat adanya kesempatan untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan
juru gambar Majapahit ke Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa
orang bawahannya yaitu
1. Gajah Enggon
menjabat pinpinan utusan Khusus
2. Ma Panji Elam menjabat sebagai Sang Arya Rajapakrama
3. Pu Kapasa menjabat sebagai Arya Suradhiraja
4. Pu Menur menjabat sebagai Sang Arya Wangsaprana
5. dan Pu Kapat menjabat sebagai Sang Arya Patipati
2. Ma Panji Elam menjabat sebagai Sang Arya Rajapakrama
3. Pu Kapasa menjabat sebagai Arya Suradhiraja
4. Pu Menur menjabat sebagai Sang Arya Wangsaprana
5. dan Pu Kapat menjabat sebagai Sang Arya Patipati
untuk pergi
bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh menyampaikan maksud Gajah Mada agar
kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.
Sekembalinya utusan tersebut, prabu Hayam Wuruk ternyata berkenan dengan
kecantikan putri Dyah Pitaloka Citrasemi dan berniat menjadikannya sebagai
permaisuri. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena
beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh
seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.
Atas restu dari
keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja
Linggabuana untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama
tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Rombongan utusan kedua
dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang
putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara
raja dan putri akan dilangsungkan.
Setelah pinangan dari
prabu Hayam Wuruk diterima akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana,
permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk
mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan
di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu
Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit. Tidak terlalu banyak pasukan yang
mengiringi mereka mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah
untuk menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka. Perjalanan jauh mereka tempuh dari
Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan).
Ratusan rakyat
menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba
dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk
bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya.
Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah
Jawa yang akan menjadi menantunya.
Catatan sejarah
Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis
Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat
tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahi dan Sunda. Raden Wijaya
yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah
Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, Raja kerajaan Sunda. Hal ini
juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3.
Dalam Babad tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari
Pajajaran. Upacara pernikahan akan
dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri
sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati.
Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim
pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada
dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu
sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan
Dompu di Nusa Tenggara. Prabu Linggabuana
memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang
sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Prabu
Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit. Sepuluh hari telah berlalu
akhirnya sampailan rombongan di Majapahit dan diterima oleh para pembesar
Majapahit serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Kesalah-pahaman Setelah rombongan
samapai di pesanggrahan Bubat datanglah utusan Gajah Mada yang menyampaikan
maksud Gajah Mada agar putri Dyah Pitaloka diserahkan ke kerajaan Majapahit
sebagai persembahan, tanda bahwa Sunda Galuh tunduk dibawah kekuasaan
Majapahit. Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak dengan
perlakuan Gajah Mada tersebut, namun sebagai seorang pemimpim yang arif sang
prabu tidak bertindak gegabah untuk dengan serta merta mengadakan perlawanan di
tempat. Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya.
Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut
merasa marah dan dilecehkan.
Ia mendesak Hayam Wuruk
untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda
takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di
Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas
permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan
Majapahit pada saat itu.
Gugurnya rombongan Sunda Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Para Pemimpin Sunda naik darah ketika mengetahui niat Gajah Mada tersebut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya melakukan perlawanan terhadap pasukan dari Majapahit. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang.
Gugurnya rombongan Sunda Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Para Pemimpin Sunda naik darah ketika mengetahui niat Gajah Mada tersebut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya melakukan perlawanan terhadap pasukan dari Majapahit. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya
yang berjumlah besar di sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi
perkemahan rombongan kerajaan tersebut ,melawan Linggabuana dengan pasukan
pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan
menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu.
Dalam pertempuran
tersebut Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur terlebih dahulu. Pasukan
Sunda kemudian menyerang kearah selatan , pasukan Majapahit dibuat kocar kacir
oleh serangan tersebut. Serangan pasukan Sunda
kemudian dapat dipatahkan oleh pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Sentong,
Patih Gowi, Patih Marga Lewis, Patih Teteg dan Jaran Baya. Para Menteri Arraman
dan pasukan berkuda ganti menyerang tentara Pasundan, serangan tersebut
berhasil meluluh lantakan pertahanan sehingga pasukan pasundan menyingkir
kearah barat daya. Pasukan Pasundan akhirnya terkepung sehingga langsung
berhadapan dengan pasukan pimpinan Gajah Mada. Setiap pasukan Pasundan yang
menghadang kereta Gajah Mada berhasil disingkirkan satu persatu sehingga
peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Prabu Linggabuana, para menteri dan pejabat
kerajaan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh
rombongannya gugur dalam pertempuran.
Hayam Wuruk menyesalkan
tindakan ini dan mengirimkan utusan (Darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu
berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah
Pitaloka untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora
Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan
bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana
(di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda agar diambil hikmahnya. Dalam kitab
Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan
upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa
tersebut. Akibat peristiwa Bubat
ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah
Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai
wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda
diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak
boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan
tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit). Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga
tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi
bernama Nala. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran
tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit. “Kecelakaan sejarah”
ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam
bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di
wilayah ini. Peristiwa Bubat dalam Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah
sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan
kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam
Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau
menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama.
Pupuh I
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja
Majapahit hayang nyiar pibojoeun. Lajeng anjeunna ngirimkeun utusan ka sakuliah
Nusantara pikeun néangan putri nu cocog. Para utusan mulang bari marawa lukisan
para putri ti rupa-rupa nagara, ngan taya nu bisa ngirut atina. Lajeng Hayam
Wuruk ngadéngé béja kegeulisan putri Sunda, geuwat baé anjeunna ngirim juru
lukis ka Sunda. Nalika juru lukis balik deui bari mawa lukisan putri Sunda,
kabeneran harita keur aya pamanna raja Kahuripan jeung Daha nu miharep sangkan
Hayam Wuruk geura meunang jodo. Hayam Wuruk nu kataji ku lukisan putri Sunda,
lajeng anjeunna ngutus mantri Madhu pikeun ngalamar ka karajaan Sunda.
Madhu nepi ka tatar
Sunda sanggeus lalayaran salila genep poé, terus baé nepungan raja Sunda. Raja
Sunda gumbira nampa lamaran ti raja Majapahit nu kawentar ieu, sedengkeun Putri
Sundana pribadi teu loba catur.
Madhu mulang ka
Majapahit bari mawa surat balesan ti raja Sunda sarta ngibérkeun rék datangna
rombongan ti Sunda. Teu lila ti harita rombongan karajaan Sunda angkat diiring
ku rombongan nu loba pisan: dua réwu kapal (kaasup kapal laleutik). Kapal nu
dianggo ku kulawarga raja Sunda nyaéta “kapal jung Tatar (Mongol/Cina) nu
ilahar dipaké satutasna perang Wijaya” (bait 1. 43a.). Ngan nalika naraék
kapal, aranjeunna ningal kila-kila nu teu pihadéeun.
Majapahit sorangan
sibuk nyiapkeun sambutan pikeun para tamu. Sapuluh poé ti harita, kapala désa
Bubat ngalaporkeun geus datangna rombongan Sunda. Prabu Hayam Wuruk jeung
paman-pamanna geus saged rék ngabagéakeun nu datang, tapi patih Gajah Mada teu
panuju. Anjeunna keukeuh nyebutkeun yén Maharaja Majapahit teu pantes
ngabagéakeun/nyambut raja nu statusna raja lokal (vazal) kawas raja Sunda,
malah saha nu nyaho yén anjeunna téh musuh nu nyamar.
Mangka, nurutkeun
pamanggih Gajah Mada, Prabu Hayam Wuruk teu jadi indit ka Bubat. Para abdi
dalem karaton jeung pangagung séjénna kagét ngadéngé hal ieu, tapi maranéhna
teu wani ngabantah.
Di Bubat, rombongan
Sunda hawar-hawar geus ngadéngé iber ngeunaan kaayaan di Majapahit. Lajeng raja
Sunda ngirimkeun utusan, patih Anepakén, indit ka Majapahit. Anjeunna angkat
dibarengan ku tilu pangagung séjénna sarta tilu ratus prajurit, langsung ka
palinggihan Gajah Mada. Di dinya patih Anepakén sasanggeman yén Raja Sunda rék
mulang sarta nyangka yén Hayam Wuruk ingkar jangji. Aranjeunna paséa rongkah
sabab Gajah Mada keukeuh mikahayang urang Sunda lumaku sakumaha patalukan
Nusantara Majapahit. Di kapatihan éta ampir bantrok, ngan kaburu dipisah ku
Smaranata, pandita karajaan Majapahit. Mangka utusan Sunda marulang deui
kalawan ngémbarkeun yén kaputusan ahir raja Sunda bakal ditepikeun dina jangka
dua poé.
Ngadangu émbaran ieu,
raja Sunda teu sudi lumaku salaku patalukan. Lajeng anjeunna sasanggeman
mutuskeun yén leuwih hadé gugur salaku satria. Demi méla kahormatan, leuwih
hadé gugur batan hirup bari dihina urang Majapahit. Sadaya pangagung katut
rombongan Sunda tumut kana kaputusan ieu sarta milu béla ka rajana.
Lajeng raja Sunda
nepungan istri katut putrana, anjeunna nyaritakeun niatna lajeng miwarang
kulawargana mulang, tapi aranjeunna nolak kalawan keukeuh rék ngabaturan
rajana.
Terjemahannya Pupuh I
Terjemahannya Pupuh I
Hayam Wuruk, raja
Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim
utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang
sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik
hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau
mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan
lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja
Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan
mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam
Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh
Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya. Madhu tiba di tanah
Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang
raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut.
Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Namun ketika mereka
naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri
Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti banyak dipakai
semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit
sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari
kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah
datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka.
Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya
seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal
seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk
tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem
keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka
tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubat
sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di
Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakan untuk
pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu.
Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan
bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar
janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya
orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit.
Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh
Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda
setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam
tempo dua hari.
Sementara raja Sunda
setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang
vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti
seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup
tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya
dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui.
Pasukan Majapahit
disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para pangagung
karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna pangtukangna.
Perang campuh lumangsung,
ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir
sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén
tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan,
raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda
nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng
anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih,
lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan
perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina.
Terjemahannya Pupuh II
(Durma)
Maka semua sudah siap
siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang
berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan
perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit
terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton,
Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk,
pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda
dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakan dikalahkan oleh Gajah
Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan
Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura
mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan
keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh
diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh
diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk
ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri
Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa
ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu.
Satutasna ti éta,
dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah. Teu lila ti kajadian ieu,
Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida.
Sanggeus anjeunna
dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala.
Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak
sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada
geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada maké sagala upakara
(kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga samadi, sahingga anjeunna ngaleungit
(moksa) ka (niskala).
Raja Kahuripan jeung
Daha, nu sarupa jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana séwang-séwangan,
sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.
Terjemahannya Pupuh III
(Sinom)
Prabu Hayam Wuruk
merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke
pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam
Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara
untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang
lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau
diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua
pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin
menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan.
Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau
mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi.
Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan
raja Daha, yang mirip “Siwa dan Buddha” berpulang ke negara mereka karena
Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Gajah Mada yang
dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.) Ih angapa, Gajah Mada,
agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri,
adulurana bakti, mangkana rakwa karapmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,
durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita
nguni duk kita anakani jurit, amrang pradesa ring gunung, anti ramening yuda,
wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak
wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas
anama Las Beleteng ang?masi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang,
amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burangik, padâmalakw
ing urip.
Mangke agung kokohanmu,
uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharapta,
tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang
sadubudi, patitânêng niraya atmamu tambe yen antu.
Terjemahannya
Wahai Gajah Mada, apa
maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa
Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama
seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah
berperang.
Seakan-akan lupa engkau
dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan.
Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang
kembali dan bala tentaramu mundur.Kedua mantrimu yang bernama Las dan
Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh
di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan.
Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga
kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang
maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau
ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu.
Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”
Raja Sunda yang menolak
syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71) yan kitâwadîng pati, lah age maraka,
i jang sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sambah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan,
warahan tuhanira, nora ngong mar?ka malih, angatarana, iki sang rajaputri. Mong
kari sasisih bahune wong Sunda, r?mpak kang kanan keri, norengsun ahulap,
rinabateng paprangan, srangan si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula
angapi.
Terjemahannya
jika engkau takut mati,
datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti
kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri. Maka
ini terdengar oleh Sri Raja Sunda dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para
duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan
Tuan Putri!”
Meskipun orang-orang
Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan
‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya
mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
Prabu Hayam Wuruk yang
meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33) Sireñanira tinañan,
unggwani sang rajaputri, tinuduhak?n aneng made sira wont?n aguling, mara sri
narapati, kat?mu sira akukub, per?mas natar ijo, ingungkabak?n tumuli, kagyat
sang nata dadi at?mah laywan.
W?n?sning muka
angraras, netra dum?ling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja
amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran mar?ka,
tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng
swacita, ning rama rena inisti, marmaning par?ng prapta kongang mangkw at?mah
kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari ag?sang,
kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palar?n ing
j?mah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing
duskr?ti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana
panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama l?ngl?ng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat,
p?t?ng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih,
lwir guruh ing katrini, matag pan?d?ng ing santun, awor swaraning kumbang,
tangising wong lanang istri, ar?r?b-r?r?b pawraning g?lung lukar.
Terjemahannya
Terjemahannya
Maka ditanyalah
dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di
tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain
berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu
karena sudah menjadi mayat. Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka,
bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan
menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah
ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada
di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka
ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu,
wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh
kejamlah kuasa Tuhan! Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah,
berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah
kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas
menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
Semakin lama semakin
sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin
merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka
kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis
para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut. Bulan
Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim
kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Analisis Kidung Sunda
Kidung Sunda harus
dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat,
meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual. Secara
garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya
lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya
memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan
gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup.
Misalkan adegan
orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara
hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa
dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.Kemudian cerita yang
dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal.
Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini
juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin
Nagarakretagama, lihat pula bawah ini. Perlu dikemukakan bahwa sang penulis
cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan,
sering kali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu
Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin
Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal
yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda
tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah
Pitaloka. Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan
pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan
orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai
orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura),
Madura, Bali, Koci , Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung
(contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di
mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus
membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut. Semua naskah
kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak
jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis
tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di
dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan
untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api
minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511.
Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa
Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut
dengan tembakan kehormatan.
Kunjungan Prabu Hayam
Wuruk ke Daerah Daerah
Dalam Negara Kertagama
dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam
leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam
Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang
adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang
dipuja sebagai Dewa.
Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo – Tengger – Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Wafatnya Patih Gajah ada
Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo – Tengger – Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Wafatnya Patih Gajah ada
Ketika Gajah Mada wafat
tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang sangat
diandalkan di dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan
sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit Prabu Hayam Wuruk
kemudian memanggil para anggota Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari
keluarga raja, Bhre Kuripan, Bhre Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun
dan Bhre Pajang. Dalam rapat tersebut tidak dapat dikemukakan seseorang yang
pantas untuk menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi.
Rapat akhirnya memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan diganti.
Untuk mengisi lowongnya
posisi patih Amangku bumi Prabu Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri
Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan
negara.
1. Empu Tandi terpilih
sebagai Wreddhamantri
2. Empu Nala dipilih sebagai tumenggung Mancanegara
3. Srti nata Krertawardana dan Wikramawardhana dipilih sebagai Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung
4. Patih Dami dipilih sebagai Yuwamantri atau menteri muda yaitu sebagai kepala rumah tangga keraton.
5. Empu Singa terpilih sebagai sekretaris Negara bertugas sebagai penyalur segala perintah Baginda
2. Empu Nala dipilih sebagai tumenggung Mancanegara
3. Srti nata Krertawardana dan Wikramawardhana dipilih sebagai Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung
4. Patih Dami dipilih sebagai Yuwamantri atau menteri muda yaitu sebagai kepala rumah tangga keraton.
5. Empu Singa terpilih sebagai sekretaris Negara bertugas sebagai penyalur segala perintah Baginda
Pekerjaan ini semua
dilaksanakan oleh patih Gajah Mada seorang diri sebagai pejabat dibawah Prabu
Hayam Wuruk, dengan demikian betapa pentingnya kedudukan patih Gajah Mada dalam
Pemerintahan Majapahit. Jabatan patih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga
tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu.
Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau
pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Demikianlah setelah patih Amangku Bumi Gajah Mada meninggal pada tahun saka
1286 atau Tahun Masehi 1364 Majapahit mengalami kemunduran, Kegemilangan
kerajaan Majapahit yang gilang gemilang adalah sejarah kehidupan patih Gajah
Mada.
Keadaan Kerajaan Majapahit
seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya
Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit
semakin kehilangan pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit
semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa
kejayaan Majapahit.
Upacara Srada
Upacara srada
dilaksanakan oleh Prabu hayam Wuruk pada tahun saka 1254 untuk memperingati
wafatnya Sri Rajapatni (Gayatri ) atas perintah Ratu Tribhuwana
Wijayatunggadewi, dalam Nagarakretagama diuraikan dalam pupuh 63 sampai dengan
67. Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun
telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai
seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan
yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut
Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta
seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan
sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan
pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh
rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang
diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur
ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih
tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat
yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca
Sradhanya.
Sebagai patih Amangku Bumi Gajah Mada menyampaikan pesan kepada para Menteri dan Punggawa untuk turut menyumbang dalam upacara srada tersebut. Pada hari pertama upacara tersebut dimulai dengan pemujaan Budha. Upacara ini dipimpin oleh pendeta Stapaka dengan dibantu Empu dari paruh. Semua pendeta berdiri dalam lingkaran untuk menyaksikan pemujaan Budha oleh Sang Prabu. Kemudian menyusul doa untuk memanggil jiwa Rajapatni dari Budhaloka yang ditampung dalam arca bunga. Pada malam berikutnya dilanjutkan pemujaan terhadap arca bunga yang telah terisi jiwa Rajapatni, pemujaan dipimpin oleh pendeta dengan samadi dan puji pujian. Paginya arca bunga dibawa keluar disambut dengan bunyi tambur dan genderang. Arca bunga kemudian didudukkan di Singgasana setinggi orang berdiri. Pemujaan dimulai dengan semua pendeta Budha kemudian dilanjutkan dengan Raja , permaisurinya dan putra putranya serta anggota keluarga lainnya.
Sebagai patih Amangku Bumi Gajah Mada menyampaikan pesan kepada para Menteri dan Punggawa untuk turut menyumbang dalam upacara srada tersebut. Pada hari pertama upacara tersebut dimulai dengan pemujaan Budha. Upacara ini dipimpin oleh pendeta Stapaka dengan dibantu Empu dari paruh. Semua pendeta berdiri dalam lingkaran untuk menyaksikan pemujaan Budha oleh Sang Prabu. Kemudian menyusul doa untuk memanggil jiwa Rajapatni dari Budhaloka yang ditampung dalam arca bunga. Pada malam berikutnya dilanjutkan pemujaan terhadap arca bunga yang telah terisi jiwa Rajapatni, pemujaan dipimpin oleh pendeta dengan samadi dan puji pujian. Paginya arca bunga dibawa keluar disambut dengan bunyi tambur dan genderang. Arca bunga kemudian didudukkan di Singgasana setinggi orang berdiri. Pemujaan dimulai dengan semua pendeta Budha kemudian dilanjutkan dengan Raja , permaisurinya dan putra putranya serta anggota keluarga lainnya.
Pada hari ketujuh
dipentaskan tari tarian dan kesenian lainnya dari berbagai wilayah Majapahit.
Upacara srada akhirnya ditutup pada Hari Kedelapan, Pagi pagi pendeta Budha
berkumpul untuk melakukan pemujaan dengan lagu lagu pujaan yang diciptakan
khusus untuk Rajapatni yang telah berpulang ke Budhaloka. Arca bunga kemudian
diturunkan dari singgasana dengan upacara, semua sajian kemudian di bagikan
habis ke semua undangan. Demikianlah upacara srada telah selesai dan
dilanjutkan dengan perbaikan makam Rajapatni di Kamal Pandak.
Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk
Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk
Hayam Wuruk wafat tahun
1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang
digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya,
Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre
Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.
Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.
Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.
EmoticonEmoticon