Penyakit Jiwa Skizofrenia Dapat Disembuhkan

Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa bertaraf berat dan termasuk salah satu dari 70 macam gangguan jiwa yang ada di Indonesia. Di dunia sendiri terdapat lebih dari 300 gangguan jiwa. Skizofrenia berasal dari kata Schizo yang artinya terbelah dan Phren yang berarti jiwa. Kalau digabung, skizoprenia berarti jiwa yang terbelah atau split of personality, karena penyakit ini memang menyebabkan penderitanya seolah-olah punya jiwa yang lain. 

Skizofrenia yang ditemukan pertama kali oleh psikiater Prancis Benedict Morel (1809-1973) dapat ditemukan pada 6-19 orang dalam 1.000 populasi. Biasanya penyakit ini muncul pada usia 12 - 45 tahun, meskipun ada juga anak berusia 9 tahun yang menderita. Umumnya, kaum pria menderita penyakit ini pada usia 15 - 25 tahun, sedangkan wanita usia 25 - 35 tahun. Di Indonesia, skizofrenia sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, dan hingga kini diperkirakan jumlah penderitanya mencapai 2 juta orang. 

MENGAMUK TANPA SEBAB 
Menurut Dr. Danardi Sosrosumihardjo, Sp.Kj dari Bagian Psikiatri FKUI/RSCM, berdasarkan tingkat keparahannya, gangguan jiwa dibagi menjadi tiga macam: tingkat ringan, sedang, dan berat. Pada gangguan jiwa tingkat ringan, penderita bisa hidup normal seperti layaknya orang lain dalam kesehariannya. Penderita gangguan jiwa tingkat sedang dapat menjalani kehidupan sehari-hari, tapi disertai keluhan yang berkepanjangan, misalnya selalu merasa cemas, depresi dan sebagainya. 
Adapun gangguan jiwa tingkat berat gejalanya mudah dikenali, antara lain penderita sulit membedakan alam nyata dengan alam fantasinya. Misalnya, penderitanya mengaku sebagai utusan Tuhan atau jenderal, padahal sebenarnya bukan. Pada tingkatan berat inilah penyakit skizofrenia ditemui. Skizofrenia dibagi dalam enam tipe, yaitu paranoid, disorganisasi, katatonik, tak terinci, residual, hebefrenik, dan remisi. 
Tipe paranoid biasanya memiliki pikiran tidak rasional yang tidak dapat dibantah (waham) yang sangat dominan. Misalnya, dia merasa dirinya adalah utusan Tuhan atau jenderal, padahal sebenarnya bukan. Bisa juga dia merasa curiga berlebihan pada orang lain, merasa terus-menerus dikejar, merasa pikirannya dikendalikan orang lain, atau merasa ada ular di kepalanya. 
Pada penderita tipe disorganisasi terdapat ciri antara lain sering mengamuk, gelisah, marah tanpa sebab, gaduh, dan sebagainya. Penderita skizofrenia tipe katatonik biasanya akan membentuk tubuhnya menjadi lentur, atau bahkan mematung dan mengkakukan diri (bukan kaku karena obat). Atau, memandang matahari dalam waktu lama karena alasan yang tidak masuk akal. Contoh, merasa sebagai anak dewa matahari. 
Tipe hebefrenik merupakan tipe yang paling parah. Di sini, penderita mengalami kemunduran secara mental dan kembali seperti kehidupan seorang bayi. Perilakunya pun menjadi seperti bayi, misalnya melingkarkan tubuh, mengompol di sembarang tempat, berdiam diri, dan tidak mau berkomunikasi dengan siapapun. Bicaranya menjadi sangat kacau dan emosi menjadi sangat datar. Untungnya, dengan pengobatan yang baik, penderita tipe hebefrenik sekarang semakin sedikit. 
Tipe tak terinci yang merupakan tempat buangan alias tidak masuk ke tipe mana pun. Tipe residual berarti dia hampir sembuh dan bisa menjalani kehidupan sehari-harinya seperti orang lain, sedangkan tipe remisi artinya penderita sudah sembuh total dan tidak perlu lagi berobat. Di antara seluruh jumlah penderita skizofrenia di Indonesia, 70 persen di antaranya menderita tipe paranoid. 

FAKTOR MEDIS 
Penyebab skizofrenia belum bisa diketahui secara pasti. Yang jelas, tutur Danardi, skizofrenia murni disebabkan oleh faktor medis, bukan karena hal-hal gaib seperti yang banyak disangka orang, misalnya kesurupan. "Krismon juga bukan merupakan penyebab munculnya skizofrenia, meskipun hal satu ini bisa menjadi penyebab bagi munculnya penyakit gangguan mental yang lain. Sebab, skizofrenia sifatnya lebih spesifik dan diduga penyebabnya adalah adanya kerusakan di otak.
Diperkirakan, skizofrenia disebabkan oleh adanya gangguan di otak, yaitu di daerah yang disebut dengan sistem linbic, yaitu suatu sistem yang mengurusi masalah pikiran, perasaan, dan pergerakan. Kalau sistem linbic terganggu, misalnya jika ada tumor, infeksi atau trauma, maka kemungkinan besar skizofrenia akan muncul. Selain itu, pada penderita skizofrenia biasanya ditemukan kerusakan pada otak, yaitu adanya gangguan keseimbangan dopamine dan serotonine. Kedua hal ini merupakan bagian dari sistem neurotransmiter, yaitu zat yang berfungsi sebagai penghantar sel saraf di otak. Kalau kadar dopamine dan serotoninenya turun, penderita bisa menjadi tenang, dan sebaliknya. 
"Saat ini kami sedang mengadakan penelitian dengan mencari gangguan secara genetik, karena kalau memang terjadi gangguan di salah satu kromosom tersebut, skizofrenia bisa menetap," ujar Danardi sambil menambahkan, perubahan kebudayaan atau stres hanya merupakan salah satu dari berbagai penyebab. Ditambahkannya, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap munculnya skizofrenia, antara lain pola asuh yang salah di masa perkembangan, stres terus-menerus, turunan, atau akibat gangguan selama kehamilan. 
Menurut ahli jiwa Freud atau Ericsson, seperti dikutip Danardi, tiap-tiap fase perkembangan anak memiliki tingkat kepuasan yang berlainan. Bayi yang baru lahir sampai usia 1,5 tahun membutuhkan rasa aman. Misalnya, jika dia menangis, langsung ada yang mendatangi dan menenangkannya. "Bayi yang menangis biasanya minta diperhatikan, karena ia merasa tidak nyaman," tutur Danardi. 
Fase kedua yaitu usia 1,5 sampai 3 tahun. Di masa ini, anak mulai belajar sendiri, seperti berjalan, mendorong meja, dan sebagainya. Kalau semuanya dilarang, anak tidak akan bisa belajar sendiri. Danardi menyarankan, sebaiknya anak usia ini diajarkan untuk memakai baju sendiri atau makan sendiri. "Tapi, kalau dia malah membuat semuanya berantakan, biarkan saja. Yang penting, dia harus mulai diajarkan untuk melakukannya sendiri agar dia punya otonomi sendiri," ujar Danardi sambil mengimbau orang tua untuk tidak marah pada anak jika dia gagal melakukan sesuatu. 
Di usia 3 sampai 5 tahun, anak harus mulai diberi kesempatan untuk mengembangkan inisiatifnya. Misalnya, dengan memberikan mainan lego yang bisa membuatnya bebas berkreasi. Anak juga mulai diberi aturan yang sifatnya ringan dan tidak terlalu membebani. Misalnya, memintanya untuk meletakkan sepatu di tempat yang seharusnya. Pendeknya, lanjut Danardi, tingkat kepuasan inilah yang harus diperhatikan oleh orang tua untuk menghindari timbulnya skizofrenia. 
Sedangkan ibu hamil yang terkena radiasi atau bekerja di ruangan beradiasi juga memiliki potensi untuk melahirkan anak yang menderita skizofrenia di kemudian hari. Selain itu, gizi yang buruk juga ikut berpengaruh, karena bisa mempengaruhi otak yang akan terbentuk. Karena itu, ibu yang kehamilannya baru menginjak trimester pertama sebaiknya menjaga kandungannya dengan hati-hati, antara lain jangan sampai jatuh dan mengalami trauma. Selain itu, janin masih sangat tidak stabil pada saat itu.

HALUSINASI PENDENGARAN 

Gejala skizofrenia sendiri sejak dulu cukup jelas dikenali oleh dokter maupun psikiater, dan tak berubah hingga saat ini. Dalam waktu 5 - 10 menit saja, dokter maupun psikiater sudah bisa mengetahui apakah orang yang bersangkutan menderita skizofrenia atau tidak. "Karena itu, begitu ada yang berpura-pura menderita penyakit tersebut, bisa langsung ketahuan, misalnya orang yang minta dikasihani atau orang yang baru saja berbuat tindak kejahatan," terang Danardi. 
Waktu pemunculan gejala penyakit ini tidak bisa dipastikan. Bisa 6 bulan, tapi seringkali lebih cepat. Gejala yang menandai munculnya penyakit ini bermacam-macam, mulai dari tanda yang ringan sampai berat. Antara lain selalu menyendiri dan menarik diri dari pergaulan dengan lingkungan sekitarnya, mengalami kemunduruan dalam bekerja atau belajar secara berlebihan, emosi mendatar atau terus menerus membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia gaib tanpa sebab. 
Selain itu, kebersihan diri pada orang yang bersangkutan biasanya menurun secara drastis, misalnya seminggu penuh tidak mandi, jarang ganti baju, atau memakai baju beberapa rangkap sekaligus tanpa alasan. Atau, orang tersebut merasa curiga secara berlebihan. "Curiga boleh-boleh saja, tapi normalnya, kan, enggak terus-menerus. Rasa curiga yang timbul tenggelam ini disebut ide dan masih wajar. Tapi kalau sudah tidak bisa dibantah, disebut waham atau delusi," terang Danardi. 
Lebih jelas lagi, skizofrenia juga bisa ditandai dengan munculnya waham, yaitu munculnya ide-ide yang tidak realistis dan tidak dapat dibantah. Misalnya, mengaku diri sebagai utusan Tuhan padahal bukan, selalu ingin marah tanpa sebab, atau memiliki halusinasi. Halusinasi yang paling sering muncul adalah halusinasi pendengaran, yaitu penderita merasa diajak berbicara oleh suara-suara yang sebenarnya tidak ada. Kalau dalam satu minggu berturut-turut yang bersangkutan mengalami halusinasi pendengaran, hampir bisa dipastikan dia menderita skizoprenia. Yang berbahaya adalah jika halusinasi pendengaran tersebut disertai dengan perintah terhadap penderita, misalnya menyuruh penderita untuk memotong tangannya lantaran dianggap banyak cacingnya. 
Gejala lain, penderita sering bertingkah laku aneh seperti berbicara sendiri, mengumpulkan sampah, atau menimbun makanan tanpa sebab. Di samping itu, penderita juga sering berbicara ngaco. "Penderita skizofrenia tipe berat sulit menyusun kalimat atau kata dengan benar lantaran satu kata dengan yang lain seringkali tidak berhubungan. Bahkan, mereka juga sering menciptakan kata-kata atau istilah baru yang hanya bisa dipahami oleh yang bersangkutan yang biasa disebut dengan neologisme. "Misalnya, menyebut kata jumblang sebagai sinar yang masuk ke dalam sisir. Penderita yang mengalami gangguan neologisme berarti skizofrenianya sudah sangat parah," tutur Danardi. 
Bila seorang anggota keluarga ditengarai memiliki tanda-tanda seperti di atas, disarankan Fanardi agar sebaiknya langsung dibawa ke dokter atau psikiater untuk diperiksa. Semakin cepat diupayakan pengobatannya, proses penyembuhannya pun makin cepat. 

BISA DISEMBUHKAN 
Yang jelas, skizofrenia sebenarnya bisa disembuhkan. "Tipe yang paling berat sekalipun. Jadi, penderita tidak perlu minder," tegas Danardi. Penyakit ini bisa diobati melalui tiga cara secara bersamaan, yaitu obat, rehabilitasi, dan terapi psikologik. Obat yang dipakai untuk menyembuhkan skizofrenia ada dua generasi. Generasi pertama, yang juga disebut sebagai tipe konvensional, merupakan obat yang dipakai sejak mula ditemukannya penyakit ini, sedangkan generasi kedua yang juga disebut fatitik ditemukan baru-baru ini.Perbedaan keduanya terletak pada rumusan kimia yang terkandung di dalamnya. "Generasi kedua mempunyai formula yang lebih baik daripada pendahulunya. Sehingga, efek yang ditimbulkan otomatis lebih kecil dari genersi pertama. Perbedaan utamanya, dengan menggunakan obat generasi kedua, lebih banyak gejala skizofrenia yang bisa diobati, sekalipun tipe yang diderita adalah hebefrenik" 
Waktu obat generasi kedua belum ditemukan, "Penggunaan obat generasi pertama hanya bisa memperbaiki 25 persen dari total penderita, sisanya masih sering kambuh. Sedangkan pada pemakaian obat generasi kedua, 65 persen pasien bisa diperbaiki dan terkendali, dan hanya 35 persen yang kambuhan," jelas Danardi sambil menambahkan, penderita yang masih kambuh lagi berarti harus menunggu obat dari generasi berikutnya. Jangka waktu pengobatan antara satu penderita dengan penderita lainnya tidak sama, tergantung tipe skizofrenia yang diderita. Perlu tidaknya penderita dirawat di rumah sakit pun tergantung dari tipe penyakit yang diderita. Kalau tipenya masih tergolong ringan, penderita bisa menjalani pengobatan dengan rawat jalan. Tapi kalau tipe yang diidap sudah berat, seperti tipe hebefrenik, penderita perlu dirawat inap di rumah sakit. "Soalnya, pasien yang menderita tipe berat seperti paranoid bisa membahayakan dirinya sendiri dan mungkin juga orang lain, karena halusinasi yang dideritanya," 
Obat yang diberikan pada pasien ada kalanya menimbulkan efek samping, antara lain air liur meningkat (hipersalifasi), kekakuan otot di seluruh tubuh hingga cara jalannya seperti robot, atau bergetarnya bagian tubuh tertentu misalnya tangan yang sering disebut tremor. Terkadang, penderita juga merasa makin gelisah atau biji matanya terbalik (krisis opologik). Biji mata yang berwarna hitam seperti masuk ke mata bagian atas lantaran tertarik oleh otot yang menjadi kaku di bagian punggung. Namun, tutur Danardi, tidak semua penderita mengalami efek samping, karena sifatnya individual. "Paling-paling hanya 15 - 20 persen penderita yang mengalami efek samping tersebut," 

JANGAN DIKUCILKAN 

Patut diketahui, meski sudah sembuh, masih ada kemungkinan pasien kambuh lagi. Pasalnya, tidak semua obat generasi pertama maupun kedua cocok bagi pasien. "Karena itu, penderita harus rajin mengenali gejalanya dan segera minum obat. Pada dasarnya, semua penderita mampu mengenalinya, kok."  Gejala kambuh penderita bisa berbeda-beda, namun biasanya diawali dengan sulit tidur. Jika sebelumnya penderita menderita tipe residual, gejala kambuh yang akan muncul pun sesuai dengan gejala tipe tersebut. "Nah, begitu mengenali gejalanya, ia harus meminum obat yang dosisnya telah ditambah, tentu dengan seijin dokter. Kalau tidak, gejala tersebut bisa meningkat ke tipe yang lebih berat."  Dalam 2-3 hari, gejala bisa hilang dan kembali lagi ke tipe semula. "Penyakit ini memang sangat sensitif dengan pengobatan," tutur Danardi sambil menambahkan bisa tidaknya penderita berinteraksi dengan lingkungannya tergantung dari seberapa berat gangguan ski yang dideritanya. Penyakit ini bisa kambuh lagi lantaran pasien malas minum obat akibat beratnya efek samping pengobatan, atau menyangkal kalau dirinya sakit lagi lantaran merasa sudah sembuh. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh ketidakmampuan keluarga menebus obat, karena kesulitan dari segi ekonomi. 
Yang sulit, jika penderita sudah sembuh tapi tidak diterima di keluarganya. Hal ini bisa menjadi pemicu penyakitnya kambuh lagi. Karena itu, keluarga penderita harus mengerti keadaannya. Antara lain dengan memahami tipe skizofrenia yang diderita, mengenali gejala kekambuhannya, dan yang paling penting mengetahui bahwa penyakit ini bisa disembuhkan. 
Keluarga dan orang-orang di sekitarnya juga seharusnya tidak menganggap penderita sebagai musuh, pengacau, atau orang yang menimbulkan aib. "Keluarga perlu maklum jika penderita sulit menerima ucapan yang dilontarkan orang lain, karena memang ada gangguan di otaknya," tutur Danardi. Danardi menyarankan supaya orang-orang di sekitar penderita tidak mengucilkannya setelah sembuh dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. "Bagaimanapun, penderita skizofrenia juga ingin menjalani kehidupan biasa, kan." 


EmoticonEmoticon